A. Pengertian
Kata hibah secara etimologis berasal dari bahasa Arab yang merupakan mashdar dari kata وَﻤَﺐَ yang berarti pemberian.[1] Bisa juga dari kata hububarrih, artinya bertiup angin. Wahabtu lahu syai’an artinya aku memberikan sesuatu kepadanya. Al ittihab artinya menerima hibah.[2]
Sedangkan pengertian hibah secara terminologi adalah: Memberikan harta dari yang boleh melakukan tasarruf saat dia masih hidup tanpa ada imbalan.[3] Bisa juga diartikan dengan:
ﺍﻜﻴﺎﺓ ﺤﺎﻠ ﺒﻼ ﻋﻮﺾ ﺍﻠﺘﻣﻠﻴﻚ ﻴﻔﻴﺪ ﻋﻗﺪ ﺘﻂﻮﻋﺎ
“Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.”
Sayyid Sabiq mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan[4]
Dalil hibah dalam alqur’an terdapat pada Al-Baqarah ayat 177 dan surat Al-Maidah ayat 2
B. Rukun
Dalam kitab al-bada’i disebutkan bahwa rukun hibah adalah ijab dari orang yang menghibahkan, sedangkan qabul dari yang diberi hibah bukanlah termasuk rukun sebagai istihsan.[5]
Imam nawawi rahimahullah menyatakan hukum hibah ada 4 yaitu:
(1,2) ‘Aqidain (orang yang member hibah dn yang menerima hibah), (3) shigah, dan (4) barang yang dihibahkan.
Dalam hibah harus ada ijab qabul dengan lafal seperti dalam jual beli dan semua bentuk pemberian (pemindahan) kepemilikan lainya.[6]
Dalam Mugnil Muhtaj disebutkan bahwa rukun hibah 3, yaitu (1) orang yang melakukan transaksi (2) shigah dan (3) barang yang diberikan.[7]
Dalam kitab asy-Syarh ash-Shagir disebutkan : “diketahui dari definisi hibah sebagaimana shadaqah bahwa rukunya ada 4, yaitu (1) orang yang menghibahkan, (2) barang yang dihibahkan, (3) orang yang menerima hibah, (4) Shigah.”[8]
Hanabilah berpendapat bahwa rukun hibah ada 3, yaitu (1) orang yang bertransaksi, (2) barang yang ditransaksikan, dan (3) Shigah[9]
C. Syarat
1. Syarat-syarat yang berlaku pada ijab Kabul
Tidak digantungkan kepada sesuatu yang belum nyata terjadi.
Dalam kitab al-Muhazzab disebutkan “Tidak boleh menggantungkan hibah kepada syarat yang datangnya belakangan karena hibah merupakan transaksi yang menjadi batal karena adanya jahalah (unsur ketidak tahuan). Jadi tidak boleh mnggantungkanya seperti jual beli.”
Dalam kitab al-Mugni ddisebutkan “Tidak sah mengantungkan hibah dengan syarat karena hibah adalah pemberian sesuatu kepada orang tertentu saat ia masih hidup.”[10]
2. Syarat-syarat bagi penghibah
a. Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.
b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan
c. Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).
d. Penghibah tidak dipaksa untuk memnerikan hibah.
3. Syarat-syarat penerima hibah
Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak, kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima hibah, walau bagaimana pun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.
4. Syarat-syarat benda yang dihibahkan
a. Benda tersebut benar-benar ada;
b. Benda tersebut mempunyai nilai;
c. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat dialihkan;
d. Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah.
Adapun syarat hibah menurut ulama hambali ada 11 :
1.Hibah dari harta yang boleh di tasharrufkan
2.Terpilih dan sungguh-sungguh
3.Harta yang diperjualbelikan
4.Tanpa adanya pengganti
5.Orang yang sah memilikinya
6.Sah menerimanya
7.Walinya sebelum pemberi dipandang cukup waktu
8.Menyempurnakan pemberian
9.Tidak disertai syarat waktu
10.Pemberi sudah dipandang mampu tasharruf (merdeka, dan mukallaf)
11.Mauhub harus berupa harta yang khusus untuk dikeluarkan[11]
Ats-Tsauri, Syafi’i, dan Abu Hanifah sependapat bahwa penerimaan itu termasuk syarat sahnya hibah. Apabila barang tidak diterima, maka pemberi hibah tidak terikat. Menurut Malik, hibah menjadi sah dengan adanya penerimaan dan calon penerima hibah boleh dipaksa untuk menerima seperti jaul beli. Apabila penerima hibah memperlambat tuntutan untuk menerima hibah sampai pemberi hibah itu mengalami pailit atau menderita sakit, maka hibah tersebut batal. Sedangkan menurut Ahmad dan Abu Tsaur, hibah menjadi sah dengan terjadinya akad sedangkan penerimaan tidak menjadi syarat sama sekali.
D. Macam-macam Hibah
Pemberian murni dibagi tiga macam, yaitu hibah, hadiah, dan shadaqah tathawwu (sunah). Penjelasan ketiga macam tersebut sebagai berikut:
1. Hibah adalah pemberian tanpa imbalan.
2. Hadiah adalah pemberian tanpa imbalan yang dibawa kepada orang yang diberi sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan.
3. Shadaqah adalah pemberian tanpa imbalan kepada seseorang yang membutuhkan sebagai bentuk ibadah kepada allah ta’ala untuk mendapatkan pahala di akhirat.
Pada dasarnya hibah berbeda dengan hadiah, karena hadiah itu dibawa dari satu tempat ketempat yang lain. Diantaranya adalah menghadiahkan kambing/binatang ternak ketanah haram. Oleh karena itu, pemberian harta tidak termasuk hadiah. Dengan demikian ketiga jenis pemberian ini mempunyai perbedaan secara umum dan khusus. Setiap hadiah dan shadaqah adalah hibah, tetapi tidak sebaliknya.[12]
1.Hibah barang
2.Hibah manfaat
Di antara hibah manfaat adalah hibah muajjalah (hibah bertempo), ‘ariyyah (pinjaman), dan minhah (pemberian). Ada pula hibah yang disyaratkan masanya selama orang yang diberi hibah masih hidup dan disebut hibah umri (hibah seumur hidup), seperti jika seseorang memberikan tempat tinggal kepada orang lain sepanjang hidupnya. Hibah seperti ini diperselisihkan oleh para ulama dalam tiga pendapat :
Pertama, bahwa hibah tersebut merupakan hibah yang terputus sama sekali. Yakni bahwa hibah tersebut adalah hibah terhadap pokok barangnya (ar-raqabah), pendapat ini dikemukakan oleh Syafi’i, Abu Hanifah, ats-Tsauri, Ahmad, dan sekelompok fuqaha lainnya.
Kedua, bahwa orang yang diberi hibah itu hanya memperoleh manfaatnya saja. Apabila orang tersebut meninggal dunia, maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik dan para pengikutnya, apabila dalam aqad tersebut disebutkan keturunan sedangkan keturunannya sudah tidak ada maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya.
Ketiga, bahwa apabila pemberi hibah berkata “barang ini, selama umurku masih ada, untukmu dan keturunanmu”, maka barang tersebut menjadi milik orang yang diberi hibah. Jika dalam akad tersebut tidak disebut-sebut soal keturunan, maka sesudah meninggalnya orang yang diberi hibah, barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Dawud dan Abu Tsaur.
Silang pendapat ini berpangkal pada adanya beberapa hadis yang berbeda dan pertentangan antara syarat dengan amal yang berlaku dalam hadis. Dalam hal ini, ada dua hal:
Pertama, hadis yang disepakati kesahihannya yang diriwayatkan oleh Malik dari Jabir r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda :
“Siapa saja yang memberikan hibah seumur hidup kepada orang lain dan keturunannya, maka hibah tersebut menjadi milik orang yang diberinya itu, tidak kembali kepada orang yang memberi selamanya.” (HR. Muslim dan Nasai)
Ketentuan tegas ini karena orang tersebut memberi suatu pemberian kepada seseorang sekaligus kepada ahli warisnya.
Kedua, hadis Abu Zubair dari Jabir r.a. ia berkata :
“ Rasulullah Saw bersabda, “ Wahai golongan Anshar, tahanlah untukmu hartamu, jangan kalian berikan seumur hidup. Barangsiapa memberikan suatu pemberian sesuatu hidupnya, maka sesuatu itu untuk orang yang diberi selama hidup (orang yang diberi) dan sesudah matinya.” (HR. Ahmad dan Nasai)
Dalam hal ini, hadis riwayat Abu Zubair dari Jabir r.a. bertentangan dengan persyaratan orang yang memberikan hibah seumur hidup. Dan hadis Malik dari Jabir r.a. juga bertentangan dengan syarat orang yang memberikan hibah seumur hidup. Hanya saja, dalam hadis Malik terkesan pertentangan itu lebih sedikit. Sebab, penyebutan keturunan (al-‘aqid) mengesankan putusnya hibah, yakni tidak bisa kembali kepada pemberi hibah.
Oleh karena itu, bagi fuqaha yang lebih menguatkan hadis Nabi atas syarat, akan memberlakukan hadis Abu Zubair dari Jabir r.a. sebaliknya, bagi fuqaha yang lebih menguatkan syarat atas hadis Nabi akan memakai pendapat Malik. Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa hibah seumur hidup itu kembali kepada pemberinya manakala ia tidak menyebutkan keturunan, dan jika menyebut keturunan hibah itu tidak kembali.[13]
E. Hukum
a.Hukum Hibah
Dasar dan ketetapan hibah adalah tetapnya barang yang dihibahkan bagi mauhub lah (penerima hibah) tanpa adanya pengganti.
b.Sifat Hukum Hibah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak lazim. Dengan demkian, dapat dibatalkan oleh pemberi sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Saw. Dari Abu Hurairah :
“Pemberi hibah lebih berhak atas barang yang dihibahkan selama tidak ada pengganti.” (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni)
Dengan demikian, dibolehkan mengembalikan barang yang telah dihibahkan. Akan tetapi, dihukumi makruh sebab perbuatan itu termasuk menghina si pemberi hibah. Selain itu, yang diberi hibah harus ridha. Hal itu diibaratkan adanya cacat dalam jual beli setelah barang dipegang pembeli.
Ulama hanafiyah berpendapat ada 6 perkara yang melarang wahib mengembalikan barang yang telah dihibahkan, yaitu :
1. Penerima memberikan ganti ;
a. Pemberi yang disyaratkan dalam akad. Ulama Malikiyah, Hambali, dan Syafi’iyah menganggap hibah seperti ini sebagai jual beli dan bukan hibah.
b. Pengganti yang diakhirkan.
2. Penerima maknawi ;
a. Pahala dari Allah, sedekah kepada orang fakir tidak boleh diambil lagi.
b. Pemberian dalam rangka silaturahmi.
c. Pemberian dalam hubungan suami istri.
3. Tambahan yang ada pada barang yang diberikan yang berasal dari pekerjaan mauhub lah (orang yang diberi hibah)
4. Barang yang telah keluar dari kekuasaan penerima hibah, seperti dijual kepada orang lain.
5. Salah seorang yang akad meninggal.
6. Barang yang dihibahkan rusak.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika sudah dipegang tidak boleh dikembalikan kecuali pemberian orang tua kepada anaknya yang masih kecil. Jika belum bercampur dengan hak orang lain, seperti nikah atau anak tersebut tidak memiliki utang.
Ulama Hambali dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hibah tidak dapat dikembalikan, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. Rasulullah Saw bersabda :
“Orang yang meminta kembali hibahnya seperti orang yang mengembalikan muntahnya.”[14]
F. Masalah Hibah
1.Pendapat ulama tentang pencabutan hibah
Menurut fuqaha mencabut kembali hibah (al-i’tishar) itu boleh, Malik dan Jumhur ulama Madinah berpendapat bahwa ayah boleh mencabut kembali pemberian yang dihibahkan kepada anaknya selama anak itu belum kawin atau belum membuat utang. Begitu pula seorang ibu boleh mencabut kembali pemberian yang telah dihibahkannya, apabila ayah masih hidup. Tetapi ada riwayat dari Malik bahwa ibu tidak boleh mencabut hibahnya kembali.
Ahmad dan fuqaha zhahiri berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut kembali pemberian yang telah dihibahkannya. Dalam pada itu, Abu Hanifah berpendapat bahwa seseorang boleh mencabut kembali pemberian yang telah dihibahkan kepada perempuan (dzawil arham) yang tidak boleh dikawini (mahram). Fuqaha sependapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut kembali hibahnya yang dimaksudkan sebagai sedekah ,yakni untuk memperolah keridaan Allah.
Silang pendapat ini berpangkal pada adanya pertentangan antara beberapa hadis. fuqaha yang melarang secara mutlak pencabutan kembali hibah beralasan dengan pengertian umum hadis sahih, yaitu sabda Nabi :
“Orang yang mencabut kembali hibahnya tak ubahnya seekor anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sementara fuqaha yang mengecualikan larangan tersebut bagi kedua orang tua beralasan terhadap sabda Nabi :
“Tidak halal bagi orang yang memberi hibah untuk mencabut kembali hibahnya kecuali ayah.” (HR. Bukhari dan Nasai)
Jumhur ulama berpendapat bahwa ruju’ di dalam hibah itu haram, sekalipun hibah itu terjadi di antara saudara atau suami isteri, kecuali seperti yang sudah dijelaskan bahwa bila hibah itu hibah dari orang tua kepada anaknya, maka ruju’nya diperbolehkan berdasarkan hukum ketentuan ini dapat ditemukan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An- Nasa'i, Ibnu Majjah dan At-tarmidzi dan dia mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi shahih.
Dari Ibnu Abbas dan Ibnu 'Umar bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali hibah itu dihibahkan dari orang tua kepada anaknya Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia rujuk di dalamnya (menarik kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu kenyang ia muntah, kemudian ia memakan muntah itu kembali”.
2.Pendapat para ulama tentang penghibahan barang milik bersama
Fuqaha berselisih pendapat tentang kebolehan menghibahkan barang milik bersama yang tidak bisa dibagi. Menurut Malik, Syafi’I, Ahmad, dan Abu Tsaur bahwa hibah seperti ini sah, sedang menurut Abu Hanifah tidak sah. Fuqaha yang berpegangan bahwa penerimaan hak milik bersama itu sah seperti penerimaan jual beli, sementara Abu Hanifah berpegangan bahwa penerimaan hibah itu tidak sah kecuali secara terpisah dan tersendiri seperti halnya gadai.
3.Pendapat para ulama tentang penghibahan barang yang tidak (belum) ada
Menurut mazhab Malik bahwa menghibahkan barang yang tidak jelas (majhul) dan barang yang tidak (belum) ada (ma’dum), tetapi dapat diperkirakan akan ada itu boleh. Menurut Syafi’I, setiap barang yang boleh dijual boleh pula dihibahkan seperti piutang. Dan setiap barang yang tidak boleh dijual tidak boleh dihibahkan, juga setiap barang yang tidak sah diterima tidak sah pula dihibahkan seperti piutang dan gadai.[15]
G. Pelaksanaan Hibah
Sekaitan pelaksanaan hibah menurut ketentuan syari'at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang dihibahkan.
2. Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan.
3. Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama sekali oleh si pemberi hibah.
4. Penghibahan hendaknya dilaksanakan di hadapan beberapa orang saksi (hukumnya sunat), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang sengketa dibelakang hari.
H. Ketentuan Hibah Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) tersebut disyaratkan selain harus merupakan hak penghibah, penghibah telah pula berumur 21 tahun, berakal sehat dan didasarkan atas kesukarelaan dan sebanyak-banyaknya 1/3 dari hartanya (pasal 210).
Sedangkan hibah yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya, kelak dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, apabila orang tuanya meninggal dunia (pasal 211)
Sedangkan menyangkut penarikan hibahterhadap harta yang telah dihibahkan tidak mungkin untuk dilakukan, kecuali hibah yang dilakukan orang tua kepada anaknya (pasal 213).
Menyangkut hibah yang diberikan pada saat si penghibah dalam keadaan sakit yang membawa kematian, maka hibah tersebut harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya (pasal 213).
Warga negara Indonesia yang berada di Luar Negeri dapat membuat surat hibah di depan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini (pasal 214)[16]
I. Hikmah Disyariatkannya Hibah
Allah ta’ala mensyariatkan hibah karena dapat menyatukan hati dan mengokohkan ikatan cinta antara sesama manusia. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwasanya Nabi bersabda:
“saling memberilah hadiah, niscaya kalian saling mencintai” (HR. BUKHARI).
Rasulullah SAW biasa menerima hadiah dan membalasnya. Beliau menyerukan supaya menerima hadiah dan mendorong supaya membalasnya. Dari sini ulama berpendapat bahwa makruh hukumnya menolak hadiah jika tidak ada penghalang yang bersifat Syar’i.
Kesimpulan
Hibah berasal dari bahasa Arab yang berarti pemberian.
Sedangkan pengertian hibah secara istilah adalah akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.
Rukun hibah ada 4 :
1.Wahib (pemberi), yaitu orang yang memberi hibah
2.Mauhud lah (penerima), yaitu orang yang menerima pemberian
3.Mauhud (barang yang dihibahkan)
4.Ijab dan qabul
Syarat-syarat yang berlaku pada ijab Kabul
Tidak boleh digantungkan dengan syarat. Baik yang belum nyata terjadi maupun yang datangnya belakangan.
Syarat-syarat bagi penghibah
a. Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah
b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan
c. Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).
d. Penghibah tidak dipaksa untuk memnerikan hibah.
Syarat-syarat penerima hibah
Penerima harus benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Dan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak, kurang akal, dewasa.
Syarat-syarat benda yang dihibahkan
a. Benda tersebut benar-benar ada;
b. Benda tersebut mempunyai nilai;
c. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat dialihkan;
d. Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah.
Macam-macam Hibah
1.Hibah barang
2.Hibah manfaat
Haram mengambil kembali barang yang sudah di berikan kecuali pada masalah tertentu.
Dan makruh menolaknya jika tidak ada penghalang yang bersifat Syar’i.
Daftar Pustaka
Prof. Dr. Abdullah bin Muhamad Ath-Thayyar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Muthlaq, Dr. Muhammad bin Ibrahim Al-Musa, Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam Pandangan 4 Mazhab. Penerjemah: Miftahul Khairi, S.Ag. Penerbit Maktabah Al-Hanif Griya Agra Permai. Yogyakarta,
Helmi Karim, 1997, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, edisi 1, cet. 2
Rachmat Syafe’i, 2006, Fiqh Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, cet. 3
Ibnu Rusyd, 2007, Bidayatul Mujtahid, Jakarta : Putaka Amani, jilid. 3
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 14,Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1988, hlm. 167. http://fadliyanur.blogspot.com/2008/01/hibah_30.html
H. Abdurrahman SH MH, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 2004. http://fadliyanur.blogspot.com/2008/01/hibah_30.html
[3] Prof. Dr. Abdullah bin Muhamad Ath-Thayyar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Muthlaq, Dr. Muhammad bin Ibrahim Al-Musa, Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam Pandangan 4 Mazhab. Penerjemah: Miftahul Khairi, S.Ag. Penerbit Maktabah Al-Hanif Griya Agra Permai. Yogyakarta, hlm 467
[4] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 14,Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1988, hlm. 167. http://fadliyanur.blogspot.com/2008/01/hibah_30.html
[10] Prof. Dr. Abdullah bin Muhamad Ath-Thayyar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Muthlaq, Dr. Muhammad bin Ibrahim Al-Musa, Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam Pandangan 4 Mazhab. Penerjemah: Miftahul Khairi, S.Ag. Penerbit Maktabah Al-Hanif Griya Agra Permai. Yogyakarta, hlm 471
[12] Prof. Dr. Abdullah bin Muhamad Ath-Thayyar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Muthlaq, Dr. Muhammad bin Ibrahim Al-Musa, Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam Pandangan 4 Mazhab. Penerjemah: Miftahul Khairi, S.Ag. Penerbit Maktabah Al-Hanif Griya Agra Permai. Yogyakarta, hlm 468
[16] H. Abdurrahman SH MH, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 2004. http://fadliyanur.blogspot.com/2008/01/hibah_30.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar