Label

Jumat, 14 Oktober 2011

MAQASHID SYARIAH



A.    Pengertian Maqashid Al-Syari`ah
Menurut bahasa maqashid al-syari`ah terbentuk dari dua kata yakni maqashid dan syari`ah. Maqashid bentuk jamak dari maqshid yang berarti tujuan atau kesengajaan.[1] Sedangkan Syariah diartikan jalan.
Adapun syariah menurut terminologi adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut Manna al-Qathan yang dimaksud dengan syariah adalah segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.[2]
Jadi, dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari`ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada umat manusia.
Istilah maqashid al-syari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishak Asy-Syatibi yang tertuang dalam karyanya Muwaffaqat [3]sebagaimana dalam ungkapannya adalah:
Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam  mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”.

B.     Dalil Maqashid al-Syari`ah
Di dalam al-Quran disebutkan:
15.  Hai ahli kitab, Sesungguhnya Telah datang kepadamu Rasul kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya Telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan[408]
16.  Dengan Kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (Al-Maidah 15-16)
[408]  cahaya Maksudnya: nabi Muhammad s.a.w. dan Kitab Maksudnya: Al Quran.[4]
Para ulama fikih dan ushul fikih sepakat bahwa hukum diturunkan untuk tujuan kemaslahatan manusia di dunia maupun akhirat.[5]

C.    Tingkatan Maqasid Syari’ah
Menurut Abu Ishak Asy-Syatibi tingkat Maqasid Syari’ah terbagi kepada tiga, yaitu:[6]
              I.     Dharuriyat
Kebutuhan Dharuriyat Ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akherat kelak.
           II.     Hajiyat
Kebutuhan Hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana bila tak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan segala kesulitan itu.
        III.     Tahsiniyat
Kebutuhan Tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok diatas dan tida pula menimbulkan kesulitan. Tingkat ini berupa kebutuhan pelengkap. Menurut Asy-Syatibi hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.

D.    Tujuan Maqashid al-Syari`ah
Tujuan Allah mensyariatkan hukum-Nya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia baik dunia maupun akhirat. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan itu berdasarkan penelitian para ahli ushul fikih ada 5 unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, kelima pokok tersebut adalah[7]:
1. Agama (hifzh al-din)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :
a). Memelihara agama dalam tingkat dharuriyah yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama.
b). Memelihara agama dalam peringkat hajiyah yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghidari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama, melainkan hanya kita mempersulit bagi orang yang melakukannya.
c). Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyah yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan, misalnya membersihkan badan, pakaian dan tempat.[8]


2.      Jiwa (hifzh an-nafs)
Memihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dibedakan menjadi tiga peringkat
a). Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyah seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
b). Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal, kalau ini diabaikan maka tidak mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c). Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkan tata cara makan dan minum.
3.      Akal, (hifzh al-`aql)
Memelihara akal dari segi kepentingannya dibedakan menjadi 3 tingkat :
a). Memelihara akaldalam tingkat dharuriyah seperti diharamkan meminum minuman keras karena berakibat terancamnya eksistensi akal.
b). Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan.
c). Memelihara akal dalam tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.
4.      Keturunan (hifzh an-nasb)
Memelihara keturunan dari segi tingkat kebutuhannya dibedakan menjadi tiga
a). Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyah seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina.
b). Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah.
c). Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat seperti disyaratkannya khitbah dan walimah dalam perkawinan.
5.      Harta. (hifzh al-mal)
Memelihara harta dapat dibedakan menjadi 3 tingkat :
a). Memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak sah.
b). Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti syariat tentang jual beli tentang jual beli salam.
c). Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.[9]

E.     Peranan Maqashid al-Syari`ah Dalam Pengembangan Hukum
Pengetahuan tentang maqashid al-syari`ah seperti yang ditegaskan Abdul Wahab al-Khallaf adalah berperan sebagai alat Bantu untuk memahami redaksi al-qur`an dan sunnah, menyelesaikan dalil- dalil yang bertentangan, dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam al-qur`an dan sunnah secara kajian kebahasaan.[10]
Metode istinbat seperti qiyas, istihsan, dan maslahah al-mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqashid al- syariah . qiyas misalnya baru bisa dilaksanakan  bila mana dapat ditemukan maqashid al-syari`ahnya yang merupakan alasan logis dari suatu hukum. Sebagai contoh kasus diharamkannya khamar dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqashid al-syari`ah diharamkannya khamar adalah karena sifa memabukkannya yang merusak akal. Dengan demikian yang menjadi alasan logis dari diharamkannya khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri adalah salah satu contoh dari yang memabukkan.[11]




PENUTUP
Maqashid syari`ah adalah tujuan serta jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat.
Dalil Maqashid al-Syari`ah Di dalam al-Quran disebutkan (Al-Maidah 15-16).
Menurut Abu Ishak Asy-Syatibi tingkat Maqasid Syari’ah terbagi kepada tiga, yaitu: Dharuriyat, Hajiyat, Tahsiniyat.
Tujuan Allah mensyariatkan hukum-Nya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia baik dunia maupun akhirat. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan itu berdasarkan penelitian para ahli ushul fikih ada 5 unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, kelima pokok tersebut adalah:
1.      Agama (hifzh al-din)
2.      Jiwa (hifzh an-nafs)
3.      Akal, (hifzh al-`aql)
4.      Keturunan (hifzh an-nasb)
5.      Harta. (hifzh al-mal)
Pengetahuan tentang maqashid al-syari`ah seperti yang ditegaskan Abdul Wahab al-Khallaf adalah berperan sebagai alat Bantu untuk memahami redaksi al-qur`an dan sunnah, menyelesaikan dalil- dalil yang bertentangan, dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam al-qur`an dan sunnah secara kajian kebahasaan.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an tarjamah.
Asafari Jaya Bakri, Konsep Maqashid al-Syari`ah Menurut Asy-Syatibi, cetakan pertama ( Jakarta : Raja GraPindo Persada, 1996).
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997).
http://paramujaddida.wordpress.com/2010/02/01/maqasid-syariah/
Khairul Uman, Achyar Amitudin, Ushul Fiqh II, (Bandung: CV Pustaka Setia 1998)
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : Pusat Penerbitan LPPM UI, 1995).
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqih, cetakan pertama (Jakarta : Prenada Media, 2005).
T.M. Hasby Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (Yogyakarta : Bulan Bintang, 1974).


[1] Asafari Jaya Bakri, Konsep Maqashid al-Syari`ah Menurut Asy-Syatibi, cetakan pertama ( Jakarta : Raja GraPindo Persada, 1996), hal. 60.
[2] http://paramujaddida.wordpress.com/2010/02/01/maqasid-syariah/
[3] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : Pusat Penerbitan LPPM UI, 1995), Hal.10
[4] Al-Qur’an tarjamah.
[5] T.M. Hasby Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (Yogyakarta : Bulan Bintang, 1974), hal. 181-183
[6] Khairul Uman, Achyar Amitudin, Ushul Fiqh II(Bandung: CV Pustaka Setia 1998), hal 194.
[7] http://paramujaddida.wordpress.com/2010/02/01/maqasid-syariah/
[8] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 128
[9] Ibid, hal. 131
[10] Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqih, cetakan pertama (Jakarta : Prenada Media, 2005), hal. 237.
[11] http://paramujaddida.wordpress.com/2010/02/01/maqasid-syariah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar