Label

Jumat, 14 Oktober 2011

PEMBAHASAN WARIS



A.    Definisi Waris (faroidh)
Faroidh adalah jamak dari faridhoh. Faridhoh diambil dari kata fardh yang artinya taqdir (ketentuan). Fardh secara syar'ie adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Ilmu mengenai hal itu dinamakan ilmu waris ('ilmu miirats) dan ilmu Faroidh.[1]
Sedangkan waris berasal dari kata al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Idris Djakfar dan Taufik Yahya mendifinisikan bahwa hukum kewarisan ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Ilahi yang terdapat dalam al-Qur'an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah arab disebut Faraidl.[2]
Warisan menurut sebagian besar ahli hukum Islam ialah semua harta benda yang ditingalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik berupa benda bergerak maupun benda tetap, termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup.[3]
Allah Swt. memerintakan agar setiap orang yang beriman mengikuti ketentuan-ketentuan Allah menyangkut hukum kewarisan sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an dan menjanjikan siksa neraka bagi orang yang melanggar peraturan ini.[4]

B.     Legalitas Ilmu Faroidh
Orang-orang Arab sebelum Islam hanya memberikan warisan kepada kaum lelaki saja sedang kaum perempuan tidak mendapatkannya, dan warisan hanya untuk mereka yang sudah dewasa, anak-anak tidak mendapatkannya pula. Disamping itu ada juga waris-mewaris yang didasarkan pada perjanjian. Maka Allah membatal- kan itu semua dan menurunkan firman-Nya An-Nisa : 11[5]

C.    Pengertian Peninggalan (Tirkah)
Peninggalan (tirkah) adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit (orang yang mati) secara mutlak.[6] Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
Dari berbagai ketentuan dalam hukum kewarisan Islam, setidaknya ada lima azas (doktrin) yang disepakati sebagai sesuatu yang dianggap menyifati hukum kewarisan Islam, yaitu bersifat Ijbari, bilateral, individual, keadilan yang berimbang dan akibat kematian.[7]

D.    Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan
Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1.    Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.
2.    Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."
·      Kalangan ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia.
·      Sedangkan menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba.
·      Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba.
·      Sementara itu, ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris.
3.    Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya.
4.    Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
5.    Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya), kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris “jika ada” setelah ashhabul furudh menerima bagian).

E.     Orang-Orang Yang Berhak Menerima Warisan
Orang-orang yang berhak menerima warisan, menurut mazhab Hanafi,
tersusun sebagai berikut :
1.      Ashhaabul Furuudh
2.      'Ashabah Nasabiyah
3.      'Ashabah Sababiyah
4.      Rodd kepada Ashhaabul Furuudh
5.      Dzawul Arhaam
6.      Maulal Muwaalah
7.      Orang yang diakukan nasabnya kepada orang lain
8.      Orang yang menerima wasiat melebihi sepertiga harta peninggalan
9.      Baitul Maal
Adapun urutan orang-orang yang berhak menerima warisan menurut kitab Undang- undang warisan yang berlaku di Mesir adalah sebagai berikut:
1.      ‘Ashhaabul Furuudh
2.      ‘Ashabah Nasabiyah
3.      Rodd kepada Ashhaabul Furuudh
4.      Dzawul Arhaam
5.      Rodd kepada salah seorang suami-isteri
6.      'Ashabah Sababiyah
7.      Orang yang diakukan nasabnya kepada orang lain
8.      Orang yang menerima wasiat semua harta peninggalan
9.      Baitul Maal

F.     Derajat Ahli Waris
Asas keadilan dalam hukum Kewarisan Islam mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh dan harta warisan dengan kewajiban atau beban kehidupan yang harus ditanggungnya/ditunaikannya diantara para ahli waris,[8] karena itu arti keadilan dalam hukum waris Islam bukan diukur dari kesamaan tingkatan antara ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan besar-kecilnya beban atau tanggungjawab diembankan kepada mereka, ditinjau dari keumuman keadaan/kehidupan manusia.
Antara ahli waris yang satu dan lainnya ternyata mempunyai perbedaan derajat dan urutan. Berikut ini akan disebutkan berdasarkan urutan dan derajatnya:
a.    Ashhabul furudh. Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan. Mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma'.
b.     Ashabat nasabiyah. Setelah ashhabul furudh, barulah ashabat nasabiyah menerima bagian. Ashabat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan, jika ternyata tidak ada ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan. Misalnya anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara kandung pewaris, paman kandung, dan seterusnya.
c.    Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri). Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli warisnya masih juga tersisa, maka hendaknya diberikan kepada ashhabul furudh masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Adapun suami atau istri tidak berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang ada. Sebab hak waris bagi suami atau istri disebabkan adanya ikatan pernikahan, sedangkan kekerabatan karena nasab lebih utama mendapatkan tambahan dibandingkan lainnya.
d.   Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat di sini ialah kerabat pewaris yang masih memiliki kaitan rahim --tidak termasuk ashhabul furudh juga 'ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu), bibi (saudara ibu), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan. Maka, bila pewaris tidak mempunyai kerabat sebagai ashhabul furudh, tidak pula 'ashabah, para kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak untuk mendapatkan warisan.
e.    Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dan 'ashabah, juga tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim, maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri. Misalnya, seorang suami meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan tambahan hak warisnya. Dengan demikian, istri memiliki seluruh harta peninggalan suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang meninggal.
f.     Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para 'ashabah karena sebab ialah orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli warisnya, dan sebagai 'ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.
g.    Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris. Yang dimaksud di sini ialah orang lain, artinya bukan salah seorang dan ahli waris. Misalnya, seseorang meninggal dan mempunyai sepuluh anak. Sebelum meninggal ia terlebih dahulu memberi wasiat kepada semua atau sebagian anaknya agar memberikan sejumlah hartanya kepada seseorang yang bukan termasuk salah satu ahli warisnya. Bahkan mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat boleh memberikan seluruh harta pewaris bila memang wasiatnya demikian.
h.    Baitulmal (kas negara). Apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun kerabat --seperti yang saya jelaskan-- maka seluruh harta peninggalannya diserahkan kepada baitulmal untuk kemaslahatan umum.

G. Bentuk-bentuk Waris
a. Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
b. Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
c. Hak waris secara tambahan.
d. Hak waris secara pertalian rahim.
Pada bagian berikutnya butir-butir tersebut akan saya jelas secara detail.

G.    Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
a. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
b. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
c. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.




H.    Rukun Waris
Ada tiga hal :
a.        Pewaris (al-waarits) ialah orang yang mempunyai hubungan penyebab kewarisan dengan mayit sehingga dia memperoleh kewarisan.
b.        Orang yang mewariskan (al-muwarrits): ialah mayit itu sendiri, baik nyata maupun dinyatakan mati secara hukum, seperti orang yang hilang dan dinyatakan mati.
c.         Harta yang diwariskan (al-mauruuts): disebut pula peninggalan dan warisan. Yaitu harta atau hak yang dipindahkan dari yang mewariskan kepada pewaris.[9]

I.       Syarat Waris
Syarat-syarat waris juga ada tiga:
a.       Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
b.      Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
c.       Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.

Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris “baik secara hakiki ataupun secara hukum” ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.
Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun keadaannya, manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah ia meninggal.
Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.
Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa “atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal” maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang samasama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris
Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.

J.      Penggugur Hak Waris
Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga:


1. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.
2. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya."
Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya."
Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya. Menurut saya, pendapat mazhab Hambali yang paling adil.
3. Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. Dalam sabdanya:
"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.

K.    Ashhaabul Furuudh
Ashhaabul Furuudh adalah mereka yang mempunyai bagian dari keenam bagian yang ditentukan bagi mereka, yaitu: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3 dan 1/6.
Ashhaabul Furuudh ada dua belas orang: empat laki-laki, yaitu ayah, kakek yang sah dan seterusnya ke atas, saudara laki-laki seinu, dan suami. Dan delapan perempuan, yaitu isteri, anak perempuan, saudara perempuan sekandung,saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, anak perempuan dari anak laki-laki, ibu, dan nenek serta seterusnya sampai ke atas.

L.     'Ashobah[10]
'Ashobah adalah jamak dari 'aashib, seperti halnya tholabah adalah jamak dari thoolib. 'Ashabah ini ialah anak turun dan kerabat seorang lelaki dari pihak ayah. Mereka dinamakan 'ashobah karena kuatnya ikatan antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain.
Kata 'ashobah ini diambil dari ucapan mereka: "Ashobal qoumu bi fulaan", bila mereka bersekutu dengan si fulan. Maka anak laki-laki adalah satu fihak dari 'ashobah, dan ayah adalah fihak lain; saudara laki-laki adalah satu segi dari 'ashobah sedangkan paman (dari fihak ayah) adalah sisi yang lain.
Yang dimaksud dengan 'ashobah disini ialah mereka yang mendapatkan sisa sesudah Ashhaabul Furuudh mengambil bagian-bagian yang ditentukan bagi mereka. Apabila tidak ada sisa sedikitpun dari mereka (ashhaabul furuudh), maka mereka ('ashobah) tidak mendapatkan apa-apa, kecuali bila 'ashib itu seorang anak lakilaki maka dia tidak akan mendapatkan bagian, bagaimanapun keadaannya.




M.   Pembagian 'Ashobah
'Ashobah itu dibagi menjadi dua bagian :
1.     'Ashobah Nasabiyah,
'Ashobah Nasabiyah ada tiga golongan :
a.     'Ashobah binafsih
b.    'Ashobah bighoirih
c.     'Ashobah ma'aghoirih.
2.    'Ashobah Sababiyah.
'Ashib Sababi adalah maula (tuan) yang memerdekakan. Bila orang yang
memerdekakan tidak ada, maka warisan itu bagi 'ashobahnya yang laki-laki.

N.    Perbedaan Antara Mahrum Dan Mahjub
Perbedaan antara mahrum dan mahjub diantaranya adalah:
·       Mahrum sama sekali tidak berhak untuk mewarisi, seperti orang yang membunuh (orang yang mewariskan).
·       Sedang mahjub itu berhak mendapatkan warisan, akan tetapi dia terhalang karena adanya orang lain yang lebih utama darinya untuk mendapatkan warisan.

O.    'Aul
'Aul menurut bahasa berarti irtifa': mengangkat. Dikatakan 'aalal miizaan bila timbangan itu naik, terangkat. Kata 'aul ini terkadang berarti cenderung kepada perbuatan aniaya (curang). Arti ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT: "Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (ta'uuluu)" (An-Nisaa' ayat 3).
Menurut para fuqoha, 'aul ialah bertambahnya saham dzawul furudh dan berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka.



P.     Rodd
Kata radd berarti i'aadah: mengembalikan. Dikatakan rodda 'alaihi haqqoh artinya a'aadahu ilaih: dia mengembalikan haknya kepadanya. Dan kata radd juga berarti sharf: memulangkan kembali. Dikatakan rodda 'anhu kaida 'aduwwih: dia memulangkan kembali tipu muslihat musuhnya.
Yang dimaksud radd menurut para fuqoha ialah pengembalian apa yang tersisa dari bagian dzawul furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka bila tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya
Dalam tradisi Arab pra Islam, hukum yang diberlakukan menyangkut ahli waris mereka menetapkan bahwa wanita dan anak-anak tidak memperoleh bagian warisan, dengan alasan mereka tidak atau belum dapat berperang guna mempertahankan diri, suku atau kelompoknya,[11] oleh karena itu yang berhak mewarisi adalah laki-laki yang berfisik kuat dan dapat memanggul senjata untuk mengalahkan musuh dalam setiap peperangan.[12] Konsekwensinya perempuan, anak-anak dan orang tua renta tidak berhak mewarisi harta peninggalan kerabatnya.



BAB III
PENUTUP
Faroidh adalah jamak dari faridhoh. Faridhoh diambil dari kata fardh yang artinya taqdir (ketentuan). Fardh secara syar'ie adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Ilmu mengenai hal itu dinamakan ilmu waris ('ilmu miirats) dan ilmu Faroidh.
Sedangkan waris berasal dari kata al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Rukun waris ada tiga hal :
1.      Pewaris (al-waarits) ialah orang yang mempunyai hubungan penyebab kewarisan dengan mayit sehingga dia memperoleh kewarisan.
2.      Orang yang mewariskan (al-muwarrits): ialah mayit itu sendiri, baik nyata maupun dinyatakan mati secara hukum, seperti orang yang hilang dan dinyatakan mati.
3.      Harta yang diwariskan (al-mauruuts): disebut pula peninggalan dan warisan. Yaitu harta atau hak yang dipindahkan dari yang mewariskan kepada pewaris.
Syarat-syarat waris juga ada tiga:
1.      Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
2.      Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
3.      Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.

Adapun urutan orang-orang yang berhak menerima warisan :
1.      ‘Ashhaabul Furuudh
2.      ‘Ashabah Nasabiyah
3.      Rodd kepada Ashhaabul Furuudh
4.      Dzawul Arhaam
5.      Rodd kepada salah seorang suami-isteri
6.      'Ashabah Sababiyah
7.      Orang yang diakukan nasabnya kepada orang lain
8.      Orang yang menerima wasiat semua harta peninggalan
9.      Baitul Maal

Demikian lah makalah dari saya, mohon maaf karena terdapat banyak kesalahan dan kekurangan disana sini. Adapun kritik yang membangun sangat lah diminta oleh saya selaku penulis makala ini.(satria)

Wallahu ‘alamu bishawab.



DAFTAR PUSTAKA

As-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 14, Cetakan 2 -- Bandung: Alma'arif, 1988
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta; PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), hlm. 3-4
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, Jilid III, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993), hlm. 57.
Mahmud Yunus, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), hlm. 5.
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan AdatMinangkabau, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1984), hlm. 24
Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi'i, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2003), hlm. 25
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, (Surabaya: Mutiara Ilmu, tt.), hlm. 15.
Ahmad Rofik, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 6.



[1] As-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 14, Cetakan 2 -- Bandung: Alma'arif, 1988
[2] Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta; PT.
Dunia Pustaka Jaya, 1995), hlm. 3-4
[3] Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, Jilid III, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993), hlm. 57.
[4] Mahmud Yunus, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989),
hlm. 5.
[5] As-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 14, Cetakan 2 -- Bandung: Alma'arif, 1988
[6] As-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 14, Cetakan 2 -- Bandung: Alma'arif, 1988
[7] Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan
AdatMinangkabau, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1984), hlm. 24
[8] Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi'i, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2003), hlm. 25
[9] As-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 14, Cetakan 2 -- Bandung: Alma'arif, 1988
[10] As-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 14, Cetakan 2 -- Bandung: Alma'arif, 1988
[11] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, (Surabaya:
Mutiara Ilmu, tt.), hlm. 15.
[12] Ahmad Rofik, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar