A. Pengertian Murabahah
Kata Murabahah secara bahasa adalah bentuk mutual (bermakna: saling) yang diambil dari bahasa Arab, yaitu ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Jadi, murabahah diartikan dengan saling menambah (menguntungkan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua penjual dan pembeli dengan tambahan keuntungan yang jelas.[1]
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan/margin yang disepakati.
Akad yang banyak mendapat penilaian tentang “kehalalan” pelaksanaannya adalah murabahah, yaitu jual beli dengan harga jual terdiri dari harga beli dan keuntungan yang sudah disepakati.[2]
B. Landasan Hukum Murabahah.
Landasan hukum atau sumber hukum dari transaksi mudharabah adalah:
- Al-qur’an.
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-baqarah 182)
- Al-Hadits.
Dari Shaleh bin Suhaib r.a. bahwa Rasulullah Saw, bersabda:
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara muqaradhan (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (HR. Ibn Majah).
C. Rukun dan Syarat Murabahah.
Menurut mayoritas (jumhur) ahli-ahli hukum Islam, rukun yang membentuk akad murabahah ada lima yaitu:
(a) Adanya penjual (ba’i);
(b) Adanya pembeli (musytari);
(c) Objek atau barang (mabi’) yang diperjualbelikan;
(d) Harga (tsaman) nilai jual barang berdasarkan mata uang;
(e) Ijab qabul (shigat) atau formula akad, suatu pernyataan kehendak oleh masing-masing pihak yang disebut Ijab dan Kabul.
Sementara itu, syarat murabahah adalah:
(a) Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah;
(b) Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan;
(c) Kontrak harus bebas riba;
(d) Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian;
(e) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian.[3]
D. Penerapan Murabahah Dalam Perbankan Islam
Perbankan konvensional sebagi pemain lama telah menawarkan berbagai produk unggulan salah satunya kredit kepemilikan baik rumah, kendaraan bermotor atau yang lainnya, produk bank konvensional tersebut mendapat respon yang sangat bagus oleh masyarakat.
Oleh karena itu bank syariah dalam hal untuk melengkapi produk unggulannya dan juga untuk dapat mengakomodasi keinginan dari para nasabahnya untuk dapat memiliki rumah, kendaraan bermotor atau yang lainnya maka bank syariah menggunakan bai’ al-murabahah.
Pada bank konvensional menggunakan istilah kredit bukan istilah pembiayaan. Pengertian kredit pada bank konvensional dengan pembiayaan pada bank syariah terdapat perbedaan, yaitu:
(a) Pada bank konvensional, imbalan yang diberikan kepada pemilik dana (bank) berupa bunga yang ditetapkan prosentase, sedangkan pada bank syariah menggunakan profit sharing;
(b) Pembayaran kembali dana yang dipinjam pada bank konvensional dibayar secara angsuran dalam waktu yang telah ditetapkan dengan jumlah yang sama, sedangkan pembiayaan pada bank Islam tidak mengharuskan angsuran tiap bulan atau waktu tertentu tetapi harus lunas pada waktu yang disepakati;
(c) Jika ternyata debitur dapat melunasi hutangnya sebelum jangka waktu yang telah ditetapkan, pada bank konvensional dikenakan potongan atas pinjaman, sedangkan pada bank syariah dikenakan rabat pada pelunasan hutang sebelum waktunya.
Adapun mekanisme murabahah di bank Syariah adalah sebagai berikut :
a) Bank membeli barang keperluan nasabah atas nama bank sendiri dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
b) Bank menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jikapembelian dilakukan secara hutang.
c) Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
d) Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
e) Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga maka akad jual beli harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.
f) Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan erjanjian khusus dengan nasabah.
E. Skema murabahah.[4]
Ketentuan murabahah kepada nasabah:
a) Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
b) Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
c) Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
d) Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
e) Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
f) Jika nilai uang muka kurang dari kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
g) Jika uang muka memakai kontrak sebagai alternatif dari uang muka, maka:
a. Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b. Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut, dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
F. Prinsip-Prinsip Pembiayaan Islam Dalam Murabahah
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah teletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan system bunga dalam seluruh aktivitasnya, sedangkan bank konvensional sebaliknya. Hal ini memiliki implikasi yang sangat dalam dan sangat berpengaruh pada aspek operasional dan produk yang dikembangkan oleh bank Islam. Selain menghindari transaksi bunga, maka transaksi yang dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan yang diimplementasikan dalam bentuk bagi hasil. Walaupun pola bagi hasil ini merupakan produk unggulan bank syariah, namun jika meneliti kembali pokok-pokok syariah dimana akidah yang berlaku untuk urusan muamalah (interaksi sosial) adalah bahwa semuanya diperbolehkan kecuali yang dilarang, berarti semua jenis transaksi pada umumnya diperbolehkan sepanjang tidak mengandung unsur bunga (riba), spekulasi (maysir), tipu menipu/ menyembunyikan sesuatu (gharar) dan bathil.[5]
Pada pembiayaan murabahah, nasabah yang mengajukan permohonan harus memenuhi syarat sah perjanjian yaitu, unsur yaitu syarat subjektif harus berumur 21 tahun atau telah/pernah menikah, sehat jasmani dan rohani. Objek murabahah tersebut juga harus tertentu dan jelas dan merupakan milik yang penuh dari pihak bank. Dalam pelaksanaannya, pembelian objek murabahah tersebut dapat dilakukan oleh pembeli murabahah tersebut sebagai wakil dari pihak bank dengan akad wakalah atau perwakilan. Setelah akad wakalah dimana pembeli murabahah tersebut bertindak untuk dan atas nama bank untuk melakukan pembelian objek murabahah tersebut.
Setelah akad wakalah selesai dan objek murabahah tersebut secara prinsip telah menjadi hak milik bank maka terjadi akad kedua antara bank dengan pembeli murabahah yaitu akad murabahah. Hal ini dimungkinkan dan tidak menyalahi syariah Islam karena dalam Dalam fatwa Nomor 04/ DSN-MUI/ IV/ 2000 Tanggal 1 April 2000 tentang murabahah, sebagai landasan syariah transaksi murabahah adalah sebagai berikut: pada bagian pertama angka 9 disebutkan bahwa jika bank bendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip, menjadi milik bank.[6]
Diantara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi dalam transaksi murabahah antara lain sebagai berikut.
a. Default atau kelalaian, nasabah sengaja tidak membayar angsuran.
b. Fluktuasi harga, bank tidak bisa mengubah harga jual beli barang yang sudah dibeli bank untuk nasabah.
c. Penolakan nasabah,
d. Dijual , karena ba’I al mudharabah bersifat jual beli utang.[7]
BAB III
PENUTUP
- Kata Murabahah secara bahasa diartikan dengan saling menambah (menguntungkan).
- Diantara landasan hukum atau sumber hukum dari transaksi mudharabah adalah: (Q.S. Al-baqarah 182) dan Al-Hadits Dari Shaleh bin Suhaib r.a (HR. Ibn Majah).
- Rukun dan Syarat Murabahah ialah : Adanya penjual (ba’i), Adanya pembeli (musytari), Objek atau barang (mabi’) yang diperjualbelikan, Harga (tsaman) nilai jual barang berdasarkan mata uang, Ijab qabul (shigat) atau formula akad, suatu pernyataan kehendak oleh masing-masing pihak yang disebut Ijab dan Kabul.
- Syarat murabahah adalah: Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah, Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan, Kontrak harus bebas riba, Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian, Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian
- Adapun mekanisme murabahah di bank Syariah adalah sebagai berikut :
1. Bank membeli barang keperluan nasabah atas nama bank sendiri dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
2. Bank menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jikapembelian dilakukan secara hutang.
3. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
4. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
5. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga maka akad jual beli harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.
6. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan erjanjian khusus dengan nasabah.
- Pada pembiayaan murabahah, nasabah yang mengajukan permohonan harus memenuhi syarat sah perjanjian yaitu, unsur yaitu syarat subjektif harus berumur 21 tahun atau telah/pernah menikah, sehat jasmani dan rohani.
- Objek murabahah tersebut juga harus tertentu dan jelas dan merupakan milik yang penuh dari pihak bank.
- Dalam pelaksanaannya, pembelian objek murabahah tersebut dapat dilakukan oleh pembeli murabahah tersebut sebagai wakil dari pihak bank dengan akad wakalah atau perwakilan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Al-Muslih dan Shalah Ash-Shawi, “Fikih Ekonomi Keuangan Islam”, cetakan pertama, Jakarta, 2004, hlm, 198.
Muhammad Syafii Antonio, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta, Gema Insani Press, hal.101.
Ahmad Azhar Basyir, 2004, Azas-azas Hukum Muamalah, Cetakan Kedua, Yogyakarta: UII Press, hal.20.
http://www.junedzone.co.cc/2010/03/penerapan-murabahah.html (diakses tanggal 3/3/2011)
[1] Abdullah Al-Muslih dan Shalah Ash-Shawi, “Fikih Ekonomi Keuangan Islam”, cetakan pertama, Jakarta, 2004, hlm, 198.
[2] Muhammad Syafii Antonio, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta, Gema Insani Press, hal.101.
[3] Muhammad Syafii Antonio, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta,Gema Insani Press, hal.101
[4] Muhammad Syafii Antonio, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta,Gema Insani Press, hal.107
[5] Ahmad Azhar Basyir, 2004, Azas-azas Hukum Muamalah, Cetakan Kedua, Yogyakarta: UII Press, hal.20.
[7] Muhammad Syafii Antonio, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta,Gema Insani Press, hal.108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar