Label

Jumat, 14 Oktober 2011

PEMBAHASAN MASLAHAH MURSALAH




Teori maslahah-mursalah/maslahatul mursalah atau istislah sebagaimana disebutkan di atas, pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik (W. 97 H.), pendiri mazhab Malik. Namun karena pengikutnya yang lebih akhir mengingkari hal tersebut, maka setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahahmursalah kepada Imam Malik,[1] sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat yang menyatakan bahwa teori maslahah-mursalah ditemukan dan dipopulerkan oleh ulama-ulama usul fiqih dari kalangan asy-Syafi’iyah yaitu Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H.), guru Imam al-Ghazali. Dan menurut beberapa hasil penelitian ahli usul fiqih yang paling banyak membahas dan mengkaji maslahah-mursalah adalah Imam al-Ghazali yang dikenal dengan sebutan hujjatul Islam.[2]
A.    PENGERTIAN MASLAHAH MURSALAH
Maslahatul mursalah menurut lughat terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab yaitu :
shalaha-yasluhu-salhan-maslahatan. Yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan.
Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu : arsala-yursilu-irsalan. Menjadi yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahan (kebaikan) yang dipergunakan menetapka suatu hukum islam. Suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).[3]
Menurut istilah Ulama usul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikan diantaranya :
1. Imam Ar-Razi mena’rifkan sebagai berikut :
maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri’(Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya”.
2. Imam Al-Ghazali mena’rifkan sebagai berikut :
   “Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat”.
3. Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah:
   Memelihara tujuh syara’ dengan jalan menolak segala Sesutu yang merusakkan makhluk”.
Jadi kesimpulanya, maslahah mursalah ialah kebaikan(maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengenakanya atau meningalkanya, sedang kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari keburukan.[4]
B. SYARAT-SYARAT MASLAHAH MURSALAH[5]
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah daam pembentukkan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya.
Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
1.      Hanya berlaku dalam muamalah, karena soal-soal ibadat tetap tidak berubah-berubah.
2.      Tidak berlawanan dengan maksud syariat atau salah satu dalil yang dikenal. [6]
3.      Maslahah itu harus yang sebenarnya, bukan dugaan semata[7], Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukumitu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.
Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih malsalah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.
4.      Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
5.      Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`.Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
6.      Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, di mana nash yang sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.
C. MACAM-MACAM MASLAHAH
Ulama ushul membagi maslahah kepada tiga tingkat, yaitu:
1. Maslahah dharuriyah
Tingkat pertama yang harus ada.[8] Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat.
Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta.[9]
Di antara syri`at yang diwajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban jihad (berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah Islmiyah. Begitu juga menghancurkan orang-orang yang suka memfitnah kaum muslimin dari agamanya. Begitu juga menyiksa orang yang keluar dari agama Islam
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban untuk berusaha memperoleh makanan, minuman, dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya. Begitu juga kewajiban mengqshas atau mendiat orang yang berbuat pidana.
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang memabukkan. Begitu juga menyiksa orang yang meminumnya.
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban untuk menghidarkan diri dari berbuat zina. Begitu juga hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki atau perempuan.
2. Maslahah Hajjiah
``Maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan``Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlakudalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan dan bidang jinayat.
Dalam hal ibadah misalnya, qashar shalat, berbuka puasa bagi yang musafir. Dalam adat dibolehkan berburu, memakan, dan memakai yag bak-baikbdan yang indah-indah. Dalam hal muamalat, dibolehkan jual-beli secara salam, dibolehkan talak untuk menghindarkan kemaslahatan dari suami-istri. Dalam hal uqubat/jinayat, menolak hudud lantaran adalah kesamaan-kesamaan pada perkara.
Termasuk dalam hal hajjiyah ini, memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama. Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan beragama, luaslah gerak langkah hidup manusia. Melarang/mengharamkan rampasandan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah.
3. Maslahah tahsiniyah
``Maslahah tasiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak``.
Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubat. Lapangan ibadah misalnya, kewajiban bersuci dari najis, enutup aurat,memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat sunah, puasa sunah, bersedekah dan lain-lain.
Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis. Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual benda-benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia.
Imam Abu Zahrah, menambahkan bahwa termasuk lapangan tahsiniyah, yaitu melarang wanita-wanita muslimat keluar kejalan-jalan umum memakai pakaian-pakaian yang seronok atau perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa menimbulkan fitnah di kalangan masyarakat banyak yang pada gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga dan terutama oleh agama. Selanjutnya dikatakan bahwa adanya larangan tersebut bagi wanita sebenarnya merupakan kemuliaan baginya untuk menjaga kehormatan dirinya agar tetap bisa menjadi wanita-wanita yang baik menjadi kebanggaan.
D. KEHUJJAHAN MASLAHAH MURSALAH
Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul di antaranya :
a. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir .
b. Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulam syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan tentang maslah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehiggga dalam hubungan hukumitu terdpat tempat untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya.
c. Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah `` Sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka membedakn antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat``.
Diantara ulama yang paling banyak melakuakn atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemaslahahn manusia maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara`/agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat.
E. ALASAN ULAMA MENJADIKANNYA SEBAGAI HUJJAH
Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah mursalah hujjah syara’ yang dipakai sebagai landasan penetapan hukum. Karma kejadian tersebut tidak hukumnya dalam nash, hadist, ijma’ dan qiyas. Maka dengan ini maslahah mursalah ditetapkan sebagai hukum yang dituntut untuk kemaslahatan umum. Alasan mereka dalam hal ini antara lain :
1. kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya, maka jika hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru dan sesuai dengan perkembangan mereka, maka banyak kemaslahatan manusia diberbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada. Jadi tujuan penetapan hukum ini antara lain menerapkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan zamannya.
2. Orang yang mau meneliti dan menetapkan hukum yang dilakukan para sahabat nabi, tabi’in, imam-imam mujtahid akan jelas, bahwa banyak sekali hokum yang mereka tetapkan demi kemaslahatan umum, bukan karena adanya saksi yang dianggap oleh syar’i.
Seperti yang dilakukan oleh abu bakar dalam mengumpulkan berkas-berkas yang tercecer menjadi suatu tulisan al-qur’an, dan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, lalu mengangkat umar bin khattab sebagai gantinya. Umar menetapkan jatuhnya talaq tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara dan menghentikan hukuman potong tangan terhadap pencuri dimasa krisis pangan. Semua bentuk kemaslahatn tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum, karna tidak ada dalil syara’ yang menolaknya[10]




BAB III
PENUTUP



DAFTAR PUSTAKA
-          Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Fisafat Hukum Islam al-Ghazali; Maslahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta.
-          http://muchad.info/muchad/dalil-syar%E2%80%99i-bag-2-al-maslahah-al-mursalah.html
-          Al-hanafie M.A, Ushul Fiqh, Widjaya Jakarta, cet ke II, 1989.
-          http://www.daniexe.co.cc/2009/06/maslahah-mursalah.html
-          H.M Asywadie Syukur LC. Pengantar Ilmu Fiqh & Usul Fiqh, PT. Bina Amin, cet I, Surabaya 1990.
-          Drs. Muin Umar, Drs H. Asmuni A Rahman, dkk, Usul Fiqh I, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag 1986.
-          http://www.daniexe.co.cc/2009/06/maslahah-mursalah.html



[1] Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Fisafat Hukum Islam al-Ghazali; Maslahah-Mursalah
dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, hal. 184.
[2] Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit, hal. 63-64.
[3] http://muchad.info/muchad/dalil-syar%E2%80%99i-bag-2-al-maslahah-al-mursalah.html
[4] Al-hanafie M.A, Ushul Fiqh, Widjaya Jakarta, cet ke II, 1989, hal 144
[5] http://www.daniexe.co.cc/2009/06/maslahah-mursalah.html
[6] Al-hanafie M.A, Ushul Fiqh, Widjaya Jakarta, cet ke II, 1989, hal 144

[7] H.M Asywadie Syukur LC. Pengantar Ilmu Fiqh & Usul Fiqh, PT. Bina Amin, cet I, Surabaya 1990. Hal 199
[8] Drs. Muin Umar, Drs H. Asmuni A Rahman, dkk, Usul Fiqh I, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag 1986, hal 146-147
[9] Drs. Muin Umar, Drs H. Asmuni A Rahman, dkk, Usul Fiqh I, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag 1986, hal 146-147

[10] http://www.daniexe.co.cc/2009/06/maslahah-mursalah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar