Label

Jumat, 21 Oktober 2011

REANALYSIS TERHADAP PENGKAJIAN KE-ISLAM-AN DI PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM


Oleh. Dr.A.Sumpeno.M.Ag
I
Pada tahun 610 M, usia Muhammad Ibn Abdillah telah menginjak ke-40 tahun. Kala itu, Diamengclaim dirinya telah menerima wahyu Allah Selain sebagai petunjuk kebenaran dan merespon keliru terhadap system keyakinan religious Arab Quraisy yang polytheistic di Mekkah, wahyu Allah itu-pun mengangkat Muhammad Ibn Abdillah sebagai Rasul-Nya.
 Sebagai Rasulullah, Muhammad Ibn Abdillah mempunyai tugas menda’wahkan visi dan misi wahyu dalam bingkai Din al-Islam. Truth claim dan da’wah Islamiahnya direspon pro-kontra masyarakat Quraisy. Yang kontra disebut Kafirun atau Musyrikun. Sedangkan yang pro, Mu’min-Muslim.
Kala itu, kaum mu’minin-muslimin dapat menanyakan langsung kepada Rasulullah tentang masalah system keyakinan, hukum dan ethika (akhlak) Islam. Jawabannya membawa kepastian dan keta’atan mereka. Dinamika social-politik umat Islam-pun stabil dan terkendali. Akan tetapi, setelah beliau wafat pada tahun 634 M digantikan para khalifah-nya: Abu Bakar al-Shiddiq, 'Umar Ibn al-Khattab, 'Usman Ibn 'Affan dan Ali Ibn Thalib, persaingan politik membawa konflik muncul sehingga melahirkan perang saudara sesama mu’min di Shiffin. Perang itu antara pasukan Ali Ibn Abi Thalib versus Mu’awiyah Ibn Abi Safiyan yang diselesaikan dengan Tahkim ( perdamaian berdasar atas budaya bukan wahyu Allah ). Tahkim membawa kekalahan politik Ali Ibn Abi Thalib dan kemenangan Mu’awiyah Ibn Abi Shafiyan.
Sebagian pasukan Ali Ibn Abi Thalib yang merasa dirugikan oleh Tahkim, bereaksi menentang dan menuduh semua pihak yang terlibat dalam perang Shiffin dan Tahkim berdosa besar dan kafir karena telah melakukan perang saudara dan tidak bertahkim berasar atas wahyu Allah sebagaimana pada ayat 10 al-Hujurat dan ayat 44 al-Maidah. Mereka disebut kaum Khawarij.
Menurut kaum Khawarij, selain darah orang-orang kafir itu halal ditumpahkan, mereka-pun akan dimasukkan ke neraka oleh Allah di akhirat kelah.Pandangan kaum Khawarij seperti ini direspon kaum Murji’ah yang menyerahkan urasannya kepada Allah. Silang pendapat antara kaum Khawarij dan  Murji’ah tentang orang mu’min yang berdosa besar: Apakah telah kafir atau tetap beriman ataukah akan dimasukan Allah ke neraka atau surga di akhirat kelak?; Direspon Jabariyah yang mengatakan:”Mu’min atau kafirnya manusia telah ditentukan oleh kehendak Allah, bukan kehendak atau pilihan manusia”.
Pandangan ini direspon negatip oleh Qadariyah. Menurutnya, mu’min atau kafirnya manusia adalah berkat kehendak atau pilihan manusia sendiri, bukan kehendak Allah, karena Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih ( apakah mau beriman ataukah tidak kepada-Nya).Pemikiran Qadariyah
kemudian menjadi cikal-bakal bagi lahirnya konsep theology Mu’tazilah. Konsep Theology Mu’-tazilah direspon Asy'ariah. Konsep thelogy Asy'ariah dianut kaum mu’minin Ahli Sunnah wa al-Jama’ah.
Meskipun sama-sama menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, antara keduanya memunculkan pemahaman yang berbeda dalam theory theologynya. Perbedaan antara keduanya membawa kepada dinamika persaingan visi dan misi yang fluktuatif bagi kemajuan umat Islam dalam dinamika politik di masa dinasti Bani Abbas. Adakalanya Theology Mu’tazilah menjadi madzhab resmi Negara. Ada  kalanyanya, Asy'ariah (Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah ). Misalnya, pada masa khalifah Harun al-Rasyid (786- 809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833M), Mu’tazilah menjadi mazhab resmi theology Negara. Pada masa ini, bani Abbas mencapai puncak kejayaan atau keemasannya. Kemudian Pada masa kekuasaankhalifah Mutawakkil ( 847-861 M ) theology Mu’tazilah dibubarkan dan diganti oleh Asy'ariah.
Bila fluktuasi dinamika persaingan kedua sekte theology di atas dikaitkan dengan theology umat Islam Indonesia, maka akan terlihat pada cacatan sejarah. Dengan melihat kepada fhenomena pertumbuhan dan perkembangan dan kejayaan dan kehancuran beberapa kerajaan Islam di Indonesia 1 Abdul Aziz Dahlan (Ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Cet. Ke-1 Jilid IV, Jakarta, 1996 M: 1205)  2Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,III, (Jakarta,1994M: 291). The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Surakarta, 2-5 November 2009 seperti: Perelak ( 1290-1511 M), Aceh ( 1514-1904 M), Minangkabau ( 1500 M ), Demak ( 1500-1546 M ), Banten ( 1550-1757 M ), Pajang ( 1568-1586 M ), dan Mataram (1575-1757 M ), maka rasional sekali bila Islam berikut theology-nya tersebut di atas telah masuk dan dianut masyarakat muslim Indonesia sejak sebelum abad ke- 12 M atau tepatnya pada abad ke -7 M. Pada abad ke-7, umat Islam sedang mengalami kejayaan. Bersama dengan itu terdapat pula informasi historis yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia setelah abad ke 12 M atau abad ke 14 M. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, pada abad tahun 1258 M khalifah di Bagdad dikalahkan Hulagu. Khilafah sebagai simbul kesatuan politik umat Islam, hilang.
Jika benar yang disebut kedua, maka theology Islam yang masuk ke Indonesia adalah Asy’aryiah yang khalifah-nya di Bagdad telah dikalahkan Hulagu. Salah satu penyebabnya, karena umat Islam tidak memaksimalkan penggunaan akalnya dalam menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan, tehnologi,dan produktivtasnya yang ditumbuh-kembangkan bangsa Eropa dan Barat. Umat Islam tak berdaya menghadapi kemajuan Eropa dan Barat. Mereka kalah bersaing. Oleh karenanya, jika Islam yang datang di Abad 7 ( sebelum abad ke 12 M )ke Indonesia adalah Islam yang gagah perkasa, maka ideology Theology Islam yang masuk pada Abad 14 adalah lemah dan merintih. Sebagai yang lemah, maka umat Islam dan para tokohnya cenderung akan menyerahkan problematika yang dihadapi kepada Kekuasaan Allah dan Kehendak-Nya. Pemecahan masalah yang seharusnya akal dapat menyeselasaikannya, diserahkan kepada Allah untuk memecahkannnya. Korelasinya, sangat significant. Antara lain; Bila membaca ungkapan-ungkapan tokoh masyarakat muslim Indonesia dalam merespon penyebab kemerdekaan Indonesia dimana kekuasaan dan kehendak Allah lebih dominan dari kenyataan perbuatan manusia. Misalnya, seperti tertuang dalam alenia pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 : " Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya".
Anak Kalimat " Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa ", dapat diprediksi sebagai imaginer pemikiran dan keyakinan para tokoh Islam tentang Kemahakuasaan Allah. Memang, dalam theology Islam madzhab Asy'airah sebagai madzhab mayoritas para pemikir Islam kala itu, dikenal dengan keyakinan tehadap Kemaha Kuasaan Muthlak Tuhan atas segala yang terjadi di muka bumi.  Karena Tuhan yang Maha Kuasa, maka tidaklah mustahil senjata yang tak berimbang antara satu pasukan dengan pasukan lain, bisa terjadi lain. Misalnya, bala tentara dengan senjata kuat boleh jadi dapat dikalahkan oleh yang lebih lemah bila Allah menghendaki.Oleh karenanya, maka tidaklah heran bila ungkapan ganjil dari para pendahulu bangsa ini, muncul. Antara lain :" Bambu Runcing yang dipakai para pahlawan dapat mengalahkan bom atom atau mariam yang dipergunakan tentara Belanda dan Jepang, meskipun jauh lebih rendah mutunya dari pada bom atom dan mariam”. Demikian pula halnya,tentara Jepang yang lebih kecil dan pendek dari pada Belanda, dapat saja mengalahnya bila Tuhan menghendaki. Pernyataan yang disebut pertama tampak membingungkan ketika dikaitkan dengan pernyataan lain bahwa: Sejak bangsa Belanda menjajah pada tahun 1620-an, sejak itu pula-lah bangsa Indonesia dengan Bambu Runcing melawan tentara penjajah (Belanda), namun hasilnya, selalu nihil (kalah).
 Sebagai sesama bangsa Asia, Jepang melakukan ekspansi ke Indonesia yang sedang dijajah Belanda, pada tahun 1941 M. Belanda dikalahkannya. Penyebabnya, karena senjata militer Jepang kala itu jauh lebih canggih dari pada Belanda. Kemudian Jepang menjanjikan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dengan membentuk BPUPKI yang diketuai bung Karno. Jepang akan memberikan kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945 M. Selain itu pada tahun 1941 juga Jepang melakukan ekspansi dengan mampu menguasai wilayah jajahan Perancis di Indochina Selatan. Ekspansinya membuat Amerika gusar. Amerika kemudian memutuskan hubungan dagang degan Jepang sebagai protes kerasnya. Namun dijawab dengan tindakan kekerasan oleh perdana menteri Jepang( Jendral Hideki Tojo) dengan menggempur dan menghancurkan pangkalan Amerika Serikat yang ada di Peast Harbour, Hawaii, 1 Desember 1941. Akibatnya, pecahlah perang Fasipik. Pemerintah Amerika Serikat naik pitam. Dia membalasnya dengan membom kota Khirosima dan Nagasaki secara berturut-turut, pada tanggal 6 3Prof. Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. Ke-1,Mutiara,Jakarta,1957:11). 4 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,Cet. Ke-9, (Bulan-Bintang,  Jakarta, 1992:12-14). 5UUD 1945 dan Perubahannya, Cet. Ke-1 ( Rineka Cipta, Jakarta,1999:1).6Ensiklopedi Nasional Indonesia,III, (1997:257-258)  Ensiklopedi Nasional Indonesia, VII, 1997:418 The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Surakarta, 2-5 November 2009 dan 7 Agustus 1945 M. Akibatnya, Jepang tak berdaya. Pada tanggal 14 Agustus kaisar Hirohito menyiarkan berita menyerah kalah. Pada tanggal 2 September para pejabat Negara Jepang menandatangani pernyataan yang isinya :" Jepang menyarah kalah tanpa syarat kepada Amerika dan sekutunya". Para tentaranya yang ada di Indonesia putus hubungan dengan pemerintahnya. Mereka menyerahkan senjata kepada para pahlawan kemerdekaan Indonesia. Kekalahan Jepang dimanfa'atkan bung Karno dan Hatta untuk mencari kesempatan menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, karena jika 18 Agustus 1945 akan dikesani kemerdekaan Republik Indonesia adalah hadiah dari Jepang. Jadi, sebab kemerdekaan itu adalah karena Khirosima dan Nagasaki dibom Amerika, bukan karena rahmat Allah sehingga bambu runcing dapat mengalahkan senjata yang lebih canggih dari padanya. Padahal menurut sunnatullah yang demikian itu tidak mungkin. Kala itu, pemikiran kaum muslimin di Indonesia terjebak oleh keyakinan Allah Maha Muthlak dalam kekuasaaan-Nya. Mereka lupa perintah Allah yang harus menguasai Ilmu danTeknologi sebagai periasai diri dan persenjataan yang seimbang yang harus dipersiapkan menghadapi musuh sebagaimana pada ayat 60 surat al-Anfal. Jika musuh menggunakan nuklir, maka bukan dilawan dengan senjata biasa yang dibungkus dengan kain yang bertuliskan Allahu Akbar. Fhenomenanya seperti Saddam Husain yang dikalahkan presiden Amerika : George W.W. Bush. Akan tetapi, dengan senjata Nuklir lagi seperti apa yang dipersiapkan Ahmad Dinezad, Iran. Amereka-pun, takut kepadanya.
Keyakinan bahwasanya Allah, Maha Kuasa, Mahaberkehendak dan Melihat atas segala sesuatu sedangkan manusia tiada berdaya dan upaya kecuali berkat Allah, ditumbuh-kembangkan pada proses pengajaran Agama Islam di pesantren-pesantren atau sekolah-sekolah dari mulai SD hingga perguruan Tinggi. di jaman Bung Karno ( 1945-1967 M ). Pertumbuhan dan perkembangan PGAN, dan PTAIN pada masa Suharto sukses membubarkan PKI dan kemudian menjadi Presiden Indonesia, sangat pesat.
Pada awal awal kepemimpinnya, poltik umat Islam dan para mahasiswa IAIN lebih cenederung memilih PPP dari pada Golkar yang mengusung Suharto. Bahkan ada sebagian ulama yang menyatakan haram memilih Golkar, kala itu. Namun, kenyataannya Golkar menang. Ketika sidang di DPR tentang konsep Keluarga Berencana, masih ada dari kalangan ulama yang menyatakan KB, haram, karena bertentangan dengan kehendak dan kekuasaan muthlak Allah. Allah tak akan menciptakan makluk-Nya kecuali bersama dengan rezekinya. Banyak anak, banyak rezeki.Pandangan seperti ini direspon negatip oleh intelektualist muda islam, Dr. Harun Nasution. Pada tahun 1967, Dia mulai tampil mencoba menawarkan visi dan misi Islam Rasional untuk memajukan umat Islam Indonesia melalui proses pendidikan dan pengajaran di IAIN Jakarta kepada presiden Suharto.Gagasannya diterima.
Meskipun banyak tantangan dan hambatan, namun secara bertahap visi dan misi Islam Rasional yang ditawarkan dan diajarkannya mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesat. Pada tahun 1982 berhasil mendirikan Pasca Sarjana dengan diberi beasiswa oleh Pemerintah mengkader tokoh-tokoh IAIN yang secara tradisional meyakini akan kebenaran ideology theology Ahli Sunnah secara akademik-ilmiah dialihkan ke Islam Rasional.
Harun Nasution telah berhasil tampil menjadi figure intelektual Islam yang menjadi rujukan para tokoh pelaku pendidikan Islam di PTAI Negeri dan Swasta, di Indonesia. Para kadernya telah menjadi figure-figure sentral dalam konteks pendidikan di PTAI. Bagaimanakah hasilnya dan apa akibatnya?
Sebelum menjawabnya, ada dua factor penting yang harus dipaparkan, yakni,Pertama:” Konsep Theology Islam madzhab Asy’ariah dan Mu’tazilah dalam kontkes pemikiran dan prilaku muslim Indonesia”. Kedua, respon Harun Nasution sebagai discoverer Islam Rasional berikut perjalanannya dan segala akibatnya bagi generasi muslim Indonesia.
II
Menurut ethimology Yunani Theology terdiri atas kata Theo dan Logy. Theo sama dengan Tuhan dalam bahasa Indonesia, atau Allah dalam bahasa Arab. Logy adalah Ilmu atau Pengetahuan. Theology adalah pengetahuan manusia tentang Tuhan atau Allah. Konsep Theology Asy’ariah dan Mu’tazilah pemahaman produk pemikiran tokoh theology Islam Abu Hasan al-Asy’ari dan 8 Geral, O.Collins, Sj dan Edward G.Farrugia Sj, Kamus Theology, Cet. VI, ( Kanisius Yogyakarta, 1998 : 31 dan 35 ) The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Surakarta, 2-5 November 2009 muridnya Wasil Ibn Atha tentang Allah dalam kaitannya dengan kemampuan akal manusia untuk mengetahui-Nya, mengetahui dan membedakan kebenaran dari kesalahan, kebaikan dari keburukan.
Menurut Abu Hasan al-Asy’ari, akal manusia tidak berdaya untuk dapat mengetahui hakekat Allah, kebenaran, kesalahan, kebaikan dan keburukan kecuali bila setelah mendapatkan wahyu Allah. Alasannya, firman Allah yang maksud-nya:" Kami tidak akan menyiksa manusia sehingga Kamimengutus seorang Rasul”. Tentu, Rasul-Nya menjelasan hakekat Allah, benar, salah, baik dan buruk menurut petunjuk wahyu-Nya yang diterimanya, bukan berdasar atas akalnya belaka. Pandangan Abu Hasan al-Asy’ari ini direspon muridnya Wasil Ibn Atha yang menyatakan bahwasanya akal manusia-pun dapat menemukan Allah, benar-salah, baik-buruk sekalipun tidak sampai wahyu kepadanya. Alasannya adalah firman Allah yang menyatakan:”Mengapa kau tidak menggunakan akal pikiran”?
Kedua pandangan yang berbeda tentang existensi akal manusia dalam konteks menemukan Allah, membedakan mana yang benar, mana yang salah, baik dan buruk, membawa kepada kecenderungan akal menusia, terikat dan tak terikat wahyu. Menurut Abu Hasan, terikat wahyu Allah sehingga manusia tidak memiliki free choise, will and ackt. Sedangkan menurut Wasil Ibn Atha, justeru tidak terikat olehnya sehingga akal memiliki free choise, will and ackt, dalam menemukan dan membedakan antara kebenaran, kebatilan, kebaikan dan keburukan.
Penemuan Allah yang diperselisihkan Abu Hasan dan Wasil Ibn Atha antara oleh akal manusia atau wahyu-Nya diinformasikan al-Qur’an tentang hakekat wujud-Nya. Dengan mengikuti dan memahami teks-teks al-Qur’an secara tektual, Abu hasan al-Asy’ari menyimpulkan bahwasanya Allah adalah Maha Esa. Dia dzat yang memiliki sifat. Baik dzat maupun sifat –Nya, kedua-duanya adalah qadim atau ajaliyun.
Allah Yang Maha Esa itu memerintahkan manusia untuk beriman mengesakan dan melarang menyekutukan-Nya(Syirk),memerintahkan manusia menggunakan akal, berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat, mengajak berbuat baik dan memberantas keburukan ( al-Amru Bi al-Ma’ruf wa al-Nahyuani al-Munkar ), berdo’a, dan berusaha. Dia-pun menjanjikan surga kepada orang yang beriman kepada- Nya dan berbuat kebenaran, kebaikan, tidak kesalahan dan keburukan sebagai balasan pahala baginya. Dia-pun mengancam akan memasukkan neraka bagi yang tidak beriman, pembuat kesalahan, dan
keburukan sebagai balasan siksaan baginya. Bersamaan dengan itu, Dia-pun telah menetapkan hukum alam (Sunnatullah) yang telah paten ( tidak akan berubah dan tidak akan dapat dirubah ).
Silang pendapat antara kedua Abu Hasan al-Asy’ari dengan Wasil Ibn Atha, melahirkan perbedaan konsepsi tentang wujud Allah yang Maha Esa ( Tauhidullah),Kemahakuasaan Allah dalam kehendak, pengetahuan, dan Kemahaadilan-Nya.
1. Konsep Tauhidullah
Dengan merujuk kepada teks-teks al-Qur’an, Abu Hasan al-Asy’ari menyimpulkan hakekat Allah Yang Maha Esa itu adalah zat dan sifat. Zat dan sifat-Nya, ajaliun (qadim). Pandangannya direspon muridnya Wasil Ibn Atha dengan ungkapan:” Jika zat Allah dan sifat-Nya itu qadim, maka menurutnya Abu Hasan Al-Asy’asri telah meyakini akan dua hal yang qadim, yakni : Zat dan Sifat Allah. Orang yang meyakini akan adanya dua hal yang qadim, maka dia telah jatuh pada syirik. Syirik dilarang Allah. Ia adalah kemungkaran, yang harus diberantas.Untuk terbebas dari Syirk, maka Wasil Ibn Atha mengemu-kakan prinsip : Nafyu Sifatullah. Dalam rangka membela dari tudingan Wasil Ibn Atha, Abu Hasan al-Asy’ari, mengembangkan prinsip zat dan sifat Allah adalah satu kesatuan meskipun berbeda.
2. Kemakuasaan dan Kehendak
Allah Allah di dalam firman-Nya telah berjanji dan mengancam pembuat kebaikan dan kejahatan. Bagi yang pertama dijanjikan-Nya surga sebagai pahala baginya. Sedangkan bagi yang kedua akan dimasukan-Nya ke neraka sebagai balasan baginya. Dapatlah sebaliknya?
Dengan merujuk kepada firman Allah di dalam al-Qur’an bahwasanya Dia itu Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak tak ada sesuatu- pun yang dapat menghalangi-Nya, maka menurut Abu Hasan al- 9 Abu Hasan al-Asy’ari, Maqalatu Islamiyin Wa ikhtilafu Musallin, I, (Maktabah Nakhdhah al-Misriyyah, 1950 : 229 ) The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Surakarta, 2-5 November 2009 Asy’ari, Dia Mahamuthlak dalam kekuasaan dan kehendak-Nya. Oleh karenanya, Dia bisa saja memasukkan orang jahat ke surga dan orang baik ke neraka. Pendapat ini direspon muridnya Wasil Ibn Atha dengan firman Allah tentang Kemahaadilan-Nya. Allah yang Maha Adil tidak mungkin berbuat dzalim. Dia telah merjanji akan memasukkan orang yang berbuat baik ke surga dan akan memasukkan orang yang berbuat jahat ke neraka. Bila sebaliknya,maka Dia telah Dzalim. Oleh sebab itu, maka menurut Wasil Ibn Atha kekuasaan dan kehendak Allah terbatas keadilan-Nya sendiri. Jadi, tidak muthlak.
3. Allah Maha Mengetahui atas Segala Sesuatu
Dengan merujuk pada teks-teks al-Qur’an yang berbicara tentang pengetahuan Allah terhadap segala sesuatu ciptaan-Nya, maka menurut Abu Hasan al-Asy’ari, Allah itu Maha Mengetahui atas segala sesuatu dari hal-hal yang umum hingga yang khusus (kecil), global atau partsial. Diantara yang parsial adalah perbuatan manusia atau hasil karyanya. Menurut Wasilm Ibn Atha, karena manusia telah diberi kemampuan akal dan kebebasan untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, dan secara alamiah, alam dan manusia mempunyai potensi, maka menurutnya Allah hanya mengetahui yang global saja tidak yang partial.(Kuliyat dan Juziyyat). Poduktivitas manusia, tidak lagi di bawah pengetahuan dan kekuasaan Allah. Sebaliknya, menurut Abu Hasan al-Asy’ari, karena Tuhan Maha Kuasa dan Maha Mengetahui atas segala sesuatu, maka produktivitas manusia berada dibawa pengetahuan, pengawasan dan kehendak muthlak Allah. Oleh karenanya maka do’a manusia kepada Allah dapat merubah karyanya, meskipun menurut hukum alamnya telah paten. Do’a menurut theology Mu’tazilah bermakna Ibadah belaka. Sedangkan menurut Theology Asy'ariah bukan hanya ibadah belaka melainkan juga sangat efektif bagi perubahan sesuatu segala sesuatu. Akibat perbedaan pendapat theology ini, akan melahirkan prinsip dan sikap yang Irrasional dan Rasional. Abu Hasan al-Asy’ari akan membawa pemikiran Irrasional dan sikap tidak liberal kepada penganutnya. Sementara Wasil Ibn Atha akan membawa pemikiran dan sikap rasional dan liberal kepada penganutnya.
III
Theology Abu Hasan al-Asy’ari telah masuk dan dipelajari mayoritas muslim Indonesia penganut faham Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah di pesantren-pesantren pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Para ulama dan intelaktualist Islam yang antara lain seperti: Satiman, M. Natsir, Bung Hatta, dan Para Ulama Pesantren telah berkiprah banyak dalam hal ini. Kemudian mereka berkeinginan untuk meningkatkan pemahaman generasi muslim terhadap ajaran Islam melaui jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari pada pondok pesantren karena alasan-alasan tertentu. Misalnya, menurut M. Natsir, pendidikan pondok pcsantren dan madrasah memang dapat menghasilkan orang beriman tetapi acuh terhadap dunia.
Sejalan pendapat M. Natsir, Muhammad Hatta memandang bahwasanya pengajaran Islam yang hanya dogmatik saja hanya sanggup menanam keyakinan, dan mungkin pula keyakinan yang disertai oleh pemahaman yang sempit. Oleh karenanya maka agar para generasi muslim acuh terhadap dunia, dan tidak berwawasan sempit, maka para alumni pendidikan pesantren harus ditingkatkan  wawasannya melalui Perguruan Tinggi Agama yang dapat membawa mereka berwawasan konprehenshif. Untuk itu, maka di Perguruan Tinggi Agama Islam harus dikembangkan pendekatan Filosofis, Historis, dan Sociologis.
Satiman dan Hatta menggarisbawahi bahwasanya lembaga pendidikan tinggi yang mereka citacitakan adalah lembaga dimana Islam dikaji secara konprehenshif. Penterjamahannya digabungkan dalam pembukaan fakultas umum selain agama di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Akan tetapi, kemudian Satiman dan bung Hatta mengeluh karena pemerintah berusaha mendirikan Sekolah Tinggi  Agama Islam jauh dari ide keduanya. Misalnya selama kurun waktu dari 1940-1950, pemerintah Indonesia yang kala itu ber-pusat di Yogyakarta mendirikan Universitas Gajah Mada dan Universitas Islam Indonesia (UII). Jika pada UII fakultas agama Islam akan bersentuhan dengan mata kuliah umum, maka ketika pemerintah mendirikan Fakultas Agama UII menjadi PTAIN maka ajaran agama Islam menjadi jauh kemungkinannya untuk bersentuhan dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya. Maka sekalipun biaya atau dana oprasionalnya ditanggung pemerintah, akan tetapi misinya menjadi sempit hanya pelajaran agama Islam yang beredar pada porosnya, tidak menyentuh disiplin ilmu lainnya. Pada perkembangannya PTAIN pada tahun 1951 sudah memiliki tiga fakultas agama Islam,yakni : Tarbiyah, Qadla, dan Dakwah. Matakuliahnya melipuli bahasa Arab. Pengenalan Studi Agama, Fiqh, Usul Fiqh, Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam, 10 Fuad Jabali, IAIN Modernisasi Islam di Indonesia, Cet. Ke-1, Logos ( Jakarta,2002: 3 ). The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Surakarta, 2-5 November 2009 Filsafat, Logika, Akhlak. Tasauf. Perbandingan Agama. Dakwah. Sejarah Islam, Sejarah Peradaban Islam, Pendidikan dan Study Kebudayaan, Psikologi, Studi Pengenalan Hukum Islam, Ethika Masyarakat dan Hukum, Etnologi, Sosiologi,dan Ekonomi. Kemudian setelah PTAIN di Yogyakarta dikukuhkan pemerintah pada 1 Juni 1957, pemerintah juga mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (A1DA) di Jakarta dengan dekannya : Muhammad Yunus, dan Bustami A.Ghani sebagai wakilnya. Ia memiliki tiga fakultas (Pendidikan Agama,bahasa Arab, dan Guru Militer).Tujuannya untuk mendidik dan menyiapkan pegawai negeri dengan kemampuan akademis dan semi akademis tingkat diploma sebagai pengajar agama di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP ).
AIDA dan PTAIN dilebur menjadi Institut Agama Islam Negeri, dengan Rektomya Prof. MR. R.H.A.Soenarjo dibantu oleh Prof. TM. Hasbi al-Shiddiqy sebagai dekan Fak. Syariah, dan Dr. Muhtar Yahya sebagai dekan Fakultas Usuluddin yang berkedudukan di Yogyakarta. Dalam perkembangan selanjutnya, para tokoh masing-masing daerah ingin mendirikan IAIN, maka MPRS-pun bersidang untuk itu. Berdasar atas PP no 27 tanggal 5 Desember 1963, sedikitnya tiga fakultas menjadi satu IA1N. Oleh karenanya maka lahiriah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang mandiri (tidak terikat oleh Yogyakarta) dan terus tumbuh dan berkembang hingga masa kedatangan discoverer: Dr. Harun Nasution tampil sebagai penggagas dan pembawa Islam Rasional dengan tujuan memajukun gererasi umat Islam Indonesia. Kedangannya akan memberikan gambaran perbedaan materi dan metode pendidikan dan pembelaaran Islam di PTAIN antara sebelum kedatangan dan pada masa kedatangannya.
1. Metode Study Islam di PTAI, Pra Kedatangan Prof. DR. Harun Nasution ( dari 1967- 1970 M)
 Ketika terjadi pergeseran kekuasan dari Ir. Soekarno ke Soeharto antara 1967-1971, menteri agama tidak melakukan kebijakan karena dalam keadaan masa transisi yang masih didominir para pejabat Deperteman Agama yang lama seperti KH. Saefuddin Zuhri dan K.H. Ahmad Dachlan(keduaduanya dari NU). Mulai dari masa Orde Lama hingga awal Orde Baru(1970-an), Departemen Agama
didominir kaum Tradisional (NU). Metode study Islam di IA1N-pun memiliki kecenderungan mengikuti sistem berpikir para pejabat Departemen Agama pada waktu itu. Keadaannya, tampak tenang karena perumus, dosen, dan mahasiswanya memiliki pandangan dan tradisi Islam yang sama. Demikian pula mahasiswa dan dosen IA1N Syarif Hidayatullah Jakarta. Riwayat dan Taraffu sebagai metode dan  tehnik study Islam Ahli Sunnah wa al-Jama’ah lebih tampak dominant dari pada Dirayah dan Tanazzul. Maksudnya, para mahasiswa dalam mempelajari aqidah, syari'ah dan tarbiyah sebagai konsep, lebih kepada berdasar atas periwayatan yang ditulis para ulama dalam kitab-kitab karya mereka. Menurut metode ini, al-Qur'an adalah dari Allah ke malaikat Jibril, ke Rasulullah, dan kemudian ke para sahabat, ke tabi'in dan ke ulama. Para mahasiswa yang mempelajari Islam harus runtut terikat pada system riwayah, tidak boleh melakukan penelitian yang bebas darinya. Kemudian, karena al-Qur'an, al-Hadist dan pendapat para ulama itu berbentuk teks, maka pengam-bilan keputusan berdasar atas teks-teks yang telah ditulis ulama. Metode ini, memiliki kecenderungan mengikat, dan pemikiran atau kekuatan akal dikesampingkan, kebebasannya untuk menalar-pun tampaknya tertutup. Slogan-slogan akal dibawah wahyu, dan ijtihad tertutup membawa mereka larut dalam sistem kepatuhan kepada pendapat para ulama. Para mahasiswanya cenderung tidak memiliki kebebasan untuk berpendapat.
Dengan sistem metode study Islam seperti ini, dinamika pemikiran mahasiswa untuk menemukan pendapat baru, dan kebebasan berpikirnya- pun nyaris tertutup. Umat Islam menjadi tidak mempunyai pemikiran yang dapat mengimbangi perkembangan zaman. Misalnya, ketika presiden Suharto mengajukan gagasan Keluarga Berencana, Pencatatan Nikah, dan Pembatasan memiliki isteri bagi pengawai Negeri, dan bahkan ide Kompilasi Hukum Islam yang dikemukakan Munawir Sadzali menuai respon negatip dari kalangan para ulama termasuk para sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kala itu.
2. Metode Study Islam Pada Masa Prof. Dr. Harun Nasution (1970-1998)
Gambaran perubahan metodologi terjadi ketika para pejabat Departemen Agama diganti kaum modernist, mulai 1969-1970 hingga 1998. Metode Study Islam gaya lama, secara bertahap hilang diganti dengan yang Baru. Ia menekankan pada filsafat, sosiologi dan historis. Pemikiran mahasiswanya yang tradisionalistik-formalistik bergeser menjadi modernist-liberalist sebagai akibat dari system pembelajaran yang ditumbuh-kembangkan Prof. Dr. Harun Nasution di IAIN "Syarif Hidayatullah" Jakarta dan Program Pasca Sajananya. Kala itu, dia sebagai Rektor dan Direkturnya.
Menurut Hartono Ahmad Jaiz, metode study Islam Prof. Dr. Harun Nasution yang menekan pada rasionalitas, liberalitas, dan konprehenshif adalah faktor dominan bagi lahirnya pe-murtad-an di IAIN "Syarif Hidayalullah" Jakarta, karena melahirkan leberalitas dalam berpikir sebagai akibat dari discocerynya tentang theology Mu'tazilah dan Sejarah dalam Islam.
Sebelum lebih jauh mengungkap bagaimana sesungguhnya metode yang dikembangkan Prof. Dr. Harun Nasution sehingga dituding sebagai faktor dominan bagi proses pemurtadan di IAIN, maka harus " ditelusuri metode study Islam dan pengajarannya kepada murid-muridnya di IAIN "Syarif Hidayatullah” Jakarta, dan juga jejak langkah study Islam yang ditempuhnya jauh sebelum dirinya tiba dan menjadi rektor serta dosen di IA1N "Syarif Hidnyatiillah" Jakarta Dan direktur Program Pasca Sarjananya.
 a. Masa Study Harun Nasution dari 1926-1968 M.
Jika dilihat dari sudut latarbelakang study Harun Nasution tentang Islam, khususnya,theology, maka ia tidak terlepas dari ke-keritis-an, dialogis, dan ketidak-puasannya terhadap metodologi dan materi Ilmu Kalam yang diajarkan keluarga (ayah-ibunya), masyarakat, guru, dan para dosen di lembagalembaga
pendidikan Islam baik ketika di dalam maupun luar negeri (Pematangsiantar, Mekah,dan Mesir). Sedangkan kepuasannya ditemukannya di Mc. Gill University Amerika, setelah sebelumnya, dia merasa puas belajar di sekolah swasta al-Dirasah al-Islamiah, dan membaca buku-buku berbahasa Inggris  yang dibelinya dari Belanda. Menurutnya, disamping memiliki indikasi metodologi membingungkan, materi Ilmu Kalam di Pematangsiantar, Mekah dan Mesir itu-pun irrasional, dan tidak berwawasan.
Atas tawaran dari Mc. Gill University melalui HM.Rasyidi, Harun Nasution melanjutkan study Islamnya di sana dari 1962-1968). Disamping metode study Islam di Mc. Gill University memiliki indikasi yang memuaskan karena rasioanal, Harun Nasution–pun berwawasan luas karena Islam dikaji menurut pendekatan kontektual-historis yang konprehenshif di Universitas itu. Menurutnya, sekalipun buku-buku dan para dosennya dari kalangan Orientalist dan Non Muslim, dia tidak merasa terpengaruh pemikiran mereka, melainkan oleh sejarah Islam yang rasional.
Melalui tesis dengan judul Negara Islam di Indonesia dan Masyumi yang membawa Harun Nasution medapat gelar MA, bersimpulan :" Tak ada konsep Negara Islam, di NU, Muhammadiyah, dan Masyumi,yang ada hanyalah konsep Ibadah dan Mu'amalah. Konsep Negara Islam hanya ada pada individu para tokohnya. Kemudian dia melanjutkan studynya pada Ilmu Kalam tentang apakah Muhammad 'Abduh Mu'tazilah?
Sekalipun judul sinopsisnya tidak mendapatkan respon positip dari direktur Mc.Gill,(Adam Smith), namun atas dukungan dosennya yang benama Itsuzu, dosen dan sekaligus sebagai pembimbing disertasinya, dia dapat menyelesaikan study tentang Kalam Muhammad 'Abduh. Simpulannya: Muhammad 'Abduh itu Mu 'tazilah. Melalui disertasinya ini, maka dirinya menyandang title Doctor pada tahun 1968.
b. Masa Pengajaran di IA1N dari 1969-1998 M
Ketika Dr. Harun Nasution mendengar perubahan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto, dan Partai Komunis Indonesia dibubarkannya, maka ia segera pulang ke Indonesia ingin melakukan perubahan pemikiran Kalam kaum muslimin. Menurutnya, metode study Ilmu Kalam di kalangan kaum muslimin Indonesia mengabaikan pendekatan sejarahnya, dan tidak mengembangkan rasio serta dipelajari tidak secara konprehenshif. Ilmu Kalam telah membawa mereka kurang berwawasan sehingga berpikiran jumud dan tidak maju. Metode mempelajarinya membawa mereka ke dalam keterbelakangan.
Dr. Harun Nasution tiba di Indonesia pada tahun 1969. Selanjutnya menjadi dosen di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1969-1986), rektor ( 1974-1985) dan direktur Program Pasca Sarjana samapai ajal ke-wafat-annya tiba pada tahun 1998. Dr. Harun Nasution mengerti betul kalam Ahli Sunnah wa al-Jama'ah yang membawa kaum muslimin Indonesia terbelakang, yakni : Keyakinan terhadap Kemahamuthlakan Kehendak dan Kekuasaan Allah. Dia Maha Mengetahui Kulliat dan Juziyyat. Daya dan upaya manusia adalah ciptaan-Nya. Kehidupan manusia bagaikan wayang, ia terserah dalangnya. Baik buruk yang menimpa manusia-pun diciptakan Allah. Karena kekuasaan dan kehendak Allah itu Muthlak, maka manusia wajib berdo'a kepada-Nya untuk memohon keselamatan. Dan sekalipun harus ikhtiar (kasab), maka hekekat kasab itu pun perolehan atau pemberian dari Allah bukan produk karya manusia. Akal manusia di bawah wahyu Allah. Qadariyah sebagai landasan Mu'taziluh dianggapnya mempertuhankan akal. Menurut kalam Ahli Sunnah Wa ul-Jama 'ah, wahyu di atas akal manusia. Oleh sebab itu, maka dalam teknik problem solving muslimin Indonesia lebih menyandarkan diri kepada pendekatan irrasional seperti kepada do'a atau jampe-jampe hingga sampai pada hal-hal yang sebenarnya harus diselesaikan dengan produk ilmu sesuai akal sehat dan tidak bertentangan dengan Sunnatullah (Hukum Alam ciptaan Allah). Oleh karenanya, maka untuk memajukan muslimin Indonesia menurut Dr. Harun Nasution, kalam Ahli Sunnah Wa al-Jama'ah harus diperbaharui dengan kalam Mu'tazilah dengan pendekatan yang konprehenshif. Kalam Ahli Sunnah wa al-Jam 'ah yang diyakini mayoritas muslimin Indonesia, Irrasional. Oleh karenanya, maka ia harus segera diganti oleh Mu'tazilah yang Rasional, melalui jalur pendidikan, bukan jalur politik.14 Sistem pembelajaran agama Islam yang selama ini tidak dialogisdemokaratis-  leberal-rasional dan konprehenshif harus segera diaganti oleh dialogis-demokratis-leberalrasional dan konprehenshif dengan tinjauan Historis.
Untuk menggapai tujuannya, maka Dr. Harun Nasution berkeyakinan bahawasanya pendekatan yang tepat adalah dengan menselaraskan pandangannya dengan penguasa, karena dialah yang akan menentukan bagi ditolak atau diteraimanya gagasan. Dalam konteks ini menurutnya, al-Din 'ala Din Mulûkihim ( Agama yang dianut masyarakat maka tergantung pada agama raja mereka). Misalnya, ketika dalam konsep pembangunan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan, presiden Suharto mengajukan gagasan Keluarga Berencana untuk menyeimbangkan antara sandang, pangan, dan papan dengan reproduksi generasi, maka anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tidak menyetujuinya. Akan tetapi, pak Harto jalan terus. Konsep KB ditentang ulama PPP karena dianggap bertentangan dengan Kemahamuthlakkan Kekuasaan Allah. Mereka adalah para penganut Kalam Asy 'ariah atau Ahli Sunnah Wa al-Jama'ah. Untuk upaya perubahannya, Dr. Harun Nasution menghadap presiden Suharto. Dia menyampaikan pemikirannya. Intinya, dalam mensukseskan ide-ide program Pembangunan Nasional, maka bagaimanapun harus terlebih dahulu dirobah pandangan Kalam Irrasional kaum muslimin sebagai penduduk mayoritas bangsa ini. Suharto-pun menyepakati gagasan dan program Dr. Harun Nasution untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia Muslimin Indonesia. Caranya dengan mendidik para  tokoh generasi muslim di Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dr. Harun Nasution tampil sebagai pemimpin dan nara sumber ilmiah inti di sana. Para mahasiswannya diseleksi untuk mendapatkan pengajaran dengan diberikan beasiswa dan diasramakan.Hasilnya, maka lahirlah keberanian untuk mengajukan gagasan dari para mahasiswanya. IAIN Jakarta-pun dikenal sebagai kampus pemba-haru. Di antara para muridnya yang tampak berani mengeluarkan gagasan adalah: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dalam konsep Fiqh Lintas Agama atau ST. Musadah Mulia dalam gagasan-gagasannya yang menentang Polygami. Gagasan-gagasan mereka dianggap Hartono Ahmad Jaiz nyeleneh karena berhadapan secara tektual dengan ayat-ayat al-Qur'an dan Sabda Rasulullah. 
Pemikiran-pemikiran para murid Dr. Harun Nasution dianggapnya sebagai program yang mengarahkan umat Islam kepada pemurtadan menurut Hartono Ahmad Jaiz. dalam karyanaya : "Ada Pemurtadan di IAIN".
Pandangan Hartono Ahmad Jaiz itu, tidak sama sekali keliru. Fhenomenanya cukup menunjukkan demikian. Dan kemajuan yang diharapkan oleh Nasution,belum kunjung tiba. Yang ada adalah pemikiran yang cenderung mengabaikan firman Allah baik yang bertalian dengan Aqidah, Hukum, maupun Akhlak.
IV
Pemamaparan di atas menggambarkan problematika yang membingung-kan bagi para pendidik Islam. Jika kembali kepada konsep Theology Asy'ariah, maka akan mematikan Rasio dan menumbuh kembangkan kejumudan serta kesempitan serta tidak ada kekebasan. Akan tetapi bila mempertahankan Islam Rasional (Mu’tazilah), maka membawa kepada over liberal dalam berpikir, berkeyakinan, dan bakan bertindak. Akibatnya bebarapa prinsip aqidah, hukum dan etika Islam tidak dipatuhi lagi oleh generasi umat Islam yang belajar di PTAI. Jika metode dan tehnik Study Islam di PTAI dibawah naungan Theology Asy'ariah yang dianggap tidak Rasional oleh discoverer Islam Rasional, para mahasiswa dan mahasiswinya memiliki keterikatan prinsip-prinsip theology, Ada Pemurtadan di IAIN , Pustaka Kausat, Jakarta, 2005 The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Surakarta, 2-5 November 2009 hukum dan ethika Islam, maka ketika dan setelah metode dan tehnik Study Islam di PTAI dibawah naungan Islam Rasional, mereka tidak terikat lagi. Bakan lebih dari itu, dalam hal-hal tertentu yang nyata-nyata dilarang, cenderung dicarikan alasan rasional untuk bebas dari itu. Misalnya seperti dimuat dalam Fiqh Lintas Agama Apa solusinya?
Solusinya, mungkin dengan melakukan sentesa kedua konsep theology Islam di atas untuk dilihat plus-minusnya dalam kaitannya dengan pembinaan system keyakinan, ritual dan ethika generasi muslim melalui Proses Pendidikan di PTAI. Mungkin visi dan misinya harus melahirkan manusia-manusia rasionalis yang spiritualist dan manusia spiritualist yang rasionalis. Atau dengan kata lain :” Mu’atzili yang Sunni, dan Sunni yang Mu’tazili”. Mengapa demikian? Karena dalam Irrasional Theology Asy’ari, terdapat pula nilai-nilai Rasional dan manfa’atnya bagi kepentingan umat manusia. Sebaliknya dibalik Rasionaitas theology Mu’tazilah terdapat pula side efekt negative bagi hidup dan kehidupan manusia. Dalam proses upaya mensentesakan antara kedua konsep theology  dan metode pengajarannya, maka stake holder tentunya dituntut lebih banyak untuk mencurahkan perhatiannya, baik moril maupun materil. Dalam hal ini, khususnya, para tokoh dan pendidikan dan pejabat di Departemen Agama. Rekomendasi pemakalah :” Urun Rembuk tentang Metodology Study Islam di PTAI melalui Forum Formal seperti Panitia Ad Hoq yang dibentuk menteri Agama, menjadi sebuah langkah stratigis dan produktif sebagai ansipatif ”.



DAFTAR PUSTAKA
Abu Hasan al-Asy'ari, al-Luma Fi al-Radd 'ala ahli al'Ziyagh Wa al Bida’, Maktabah al-Katsulikiat, Beirut, 1952
____, Maqalat al-Islamlyin wa Ikhtilaf al-Miishalin, Muhyiddin Abd al-Hamid (ed), Juz. I., al-Maktabah al- Asriah, Beirut, 1991
Abu Hamad 'Ali ibn Sa'id ibn Hazm al-Andalusi, (selanjutnya disebut Ibn Hazm), Jamharah al-Ansdb al-'Arab, (Kairo: Dar al-Ma'arif, tth.)
Abu al-Hasan 'Ali Ibn Ahmad al-Wahidi al-Nisaburi, Asbdbu al-Nuzulu, Cet. Ke-1, Dar al-Fikr (Beirut: T.th.).
Abu al-Fath Muhammad Ibn "Abd a!-Karim, al-Syahru Satani, al-Milal Wa al-Nihal., Juz 1-3 Cet., Ke-1, Daral-Kutub al-'Ilmiah., Beirut., Tanpa Tahun.
Abu Luis Ma^luf, al-Munjidfi al-Lifghah al-A 'lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 2002), Cet. XXXIV.
Abu al-Qasim Jaru Allah Muhammad Ibn 'Umar al-Zamakhsyari al-Khawarizmi, al-Kasysydf 'An Haqdiqi al'Tanzil wu 'Uyun al'Aqawil fi Wujuh al-Takwil. Dar al-Fikr (Libanon: Tanpa Tahun), Jilid 1
Abdullah Ahmad Qadiri, Murtad Dikutuk Allah, terj. Salim Wakid, Solo: V. Pustaka Mantiq, 1992), Cet. I.
Abdul Halim (ed), Teologi Islam Rational: Apresiasi terhadap Wacana Praksis Harun Nasution (Jakarta:Ciputat Press) Jakarta, 2001.
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Surakarta, 2-5 November 2009
Abd al-Qadir 'Audah, al-Tasyri' al-Jina't al-Isldmi Muqarin bi al-Qdnun al- Wadh T, (Kairo: Mu'assasah al-Risalah, tth), Juz II.
Abd al-Qahir Ibn Tahir Ibn Muhammad al-Bagdady, al-Farqu Kaina al-Flraq Dar al-Kutub al-Ilmiah (Beirut:Tanpa Tahun) Cet. Ke-1. Ahmad Ali Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Syarh Hadits RiwayatBukhari no: 3994, CD Mausu 'ah al-Hadits al-Syarif...
A Djazuli, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta; Raja Grafmdo Persada,1996), Cet. I.
Agus Hasan Bashori, Koreksi Total Buku Fikih Lintas Agama, Pustaka al-Kautsar,Jakarta, 2004.
Agus Mahmud, Pembaharuan Islam di Indonesia (Suatu Tinjauan atas Gagasan Harun Nasution) Thesis,PPs. 1A1N Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998.
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawd'id al-Fiqhiyyah, Cet. Ke-1 Dar al-Qalam (Damsyiq: T.Th)
Ali Mustafa al-Ghurabi. Tarikh al-Firaiq al-lslamiyyah. Matba’ah Ali Shabih, Kairo, 1959
Ariandonika, Pemikiran Harun Nasution Tenfang Islam Rasional (Disertasi), PPs. IAIN Syarif Hidayatullah,Jakarta, 2002
Bukhari, Shahih Bukhari Kitab: al-Maghdzi, Bab: Bi'ts al-Nabi Khalid ihn al-Walid lid Barn Jadzimah, CD Mausu'ah al-Hadits al-Syarif '(Kuwait: Global Islamic Software Company, 2000) terbitan ke II.
Daud Rasyid, "Pembaruan” Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Usamah Press, Jakarta, Cet. I, 1993.
Ibn Katsir, Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir, diringkas dan ditahqiq Muhammad Ali al-Shabuni, (Beirut: Dar al-Fikr, tth) Jilid II.
Ibn Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1965) Jilid II.
Ibn Manzhur, Lisan al- 'Arab, (Beirut: Dar Ihya' al-Turats al-Arabi, 1999),Cet. ke-3 Jilid V.
Imran Abdullah, Muhammad, Islam Rasional Menurut Pemikiran Harun Nasution (Thesis), PPs. 1A1N Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997.
Jamaluddin Ibn al-Faraj 'Abdu al-Rahman Ibn al-Jauzi al-Baghdady, Talhisu al-Iblis., Darl ajail (Beirut:Tanpa Tahun)., Cet. Ke-1
Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Islam Liberal, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, Cet. I, Januari 2002.
_____, Aliran dan Paham Sesatdi Indonesia, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2002

_____, Gus Dur Menjual Bapaknya, Bantahan Pengantar Buku: Aku Bangga Jadi Anak PKI, 2003.
_____, Kursi Panas Pencalonan Nurcholish Madjid sebagai Presides. Darul Falah, Jakarta, 2003.
_____, Mengkritis Debat Fikih Lintas Agama. Pustaka al-Kautsar, Jakarta, cetakan 1, Maret 2004
_____, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2004.
____, Jejak Tokoh Islam dalam Krislenisasi, Daru al-Falah, Jakrta, 2004.
_____, Tasauf Belitan Iblis, Dar al-Falah, Jakarta, Cet. IV, 2004.
Harun Nasution, Prof. DR., Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I dan II (Jakarta: UI Press) 1974.
_____, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang) 1973.
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Surakarta, 2-5 November 2009
_____, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang) 1975.
_____, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah, (Jakarta: UI Press) 1982.
____, Akal dan Wahyu, Jakarta: UI Press) 1972
_____, Filsafat Agama, cet. I (Jakarta: Bulan Bintang) 1973
_____, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan^ Cet. ke-1 (Jakarta: UI-Press) 1972
_____, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Hariin Nasulion. Cet. I (Bandung: Mizan) 1995.
_____, Pemikiran Teologi Islam Harun Nasution dan Kontribusinya Bagi Pengembangan Pemikiran Islam di Indonesia, PPs. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998/1999.
_____, Kaum Mu'tazilah dan Pandangan Rasionalnya, (Jakarta: Yayasan Tridarma Utama Jakarta), 1979
_____, Kedudukan Akal dalam Islam, Jakarta: Idayu), 1979. Muhammad Abduh, To/sir al-Qur'an al'Hakim al-Syahir Bi al-Manar, Dar al- Ma'arif(Bairut: T.Th). Cet. Ke-2
Muhammad Amin Shahih, al-Arab Qabi Islam, (Kairo: Dar al-Ma"arif, 1981).
Muhammad Husain Hikal, al-Shiddiq Abu Bakar, (Kairo: Dar al-Ma'arif, T.Th), Cet. XI
Panitia Penerbitan Buku 70 Tahun Harun Nasution kerjasama dengan Lembaga Study Agama dan Filsafat, Refleksi Pcmbaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution, Cet. I (Ciputat: LSAF) 1989.
Rajab Muhammad Abd al-Halim, al- Riddah fi Dhau ‘ Mafhum Jadid, Kairo: Dar al- Nahdhah al-Arabiyah,tth).
Sayyid Sabiq, Fiqh ul-Sunnah. (Kairo: Dar al-Lath, 1998), Jilid III,
Tabari, Jumiu al-Bayan 'An Ta’wil Ayyi ul-Qw'an, Dar al-Fikr (Bairut:T.Th), Jilid I
Tempo, Mujalah Min^iuin (Eciisi Khnsus) 60 Tahun Kcmcrdekaan, 15-21 Agustus, 2005.
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-lslami wa 'Adillatuh,(Beirut: Dar al-Fikr 1996) Juz VI.

Abdul Aziz Dahlan (Ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Cet. Ke-1 Jilid IV, Jakarta, 1996 M: 1205)
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,III, (Jakarta,1994M: 291).
Prof. Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. Ke-1,Mutiara,Jakarta,1957:11)
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,Cet. Ke-9, (Bulan-Bintang,
Jakarta, 1992:12-14).
5UUD 1945 dan Perubahannya, Cet. Ke-1 ( Rineka Cipta, Jakarta,1999:1).
6Ensiklopedi Nasional Indonesia,III, (1997:257-258)
7Ensiklopedi Nasional Indonesia, VII, 1997:418
Geral, O.Collins, Sj dan Edward G.Farrugia Sj, Kamus Theology, Cet. VI, ( Kanisius Yogyakarta, 1998 : 31
dan 35 )
Abu Hasan al-Asy’ari, Maqalatu Islamiyin Wa ikhtilafu Musallin, I, (Maktabah Nakhdhah al-Misriyyah, 1950 :
229 )
Fuad Jabali, IAIN Modernisasi Islam di Indonesia, Cet. Ke-1, Logos ( Jakarta,2002: 3 ).
Ali Munhanif, Prof. Dr. Mukti Ali, Modernisasi Politik- Keagamaan Orde Baru, dalam Azyumardi Azra dan
Saiful Umam (ed), Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik ( Jakarta :PPIM IAIN Jakart dan Litbang Depag,1998: 288 )
Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Than Harun Nasution, Refleksi Pembaharuan Pemikiran 70 Tahun
Harun Nasution, Cet. Ke-1 ( Jakarta: LSAF,1989: 3-17)
Ibid: 30-34
Lihat karya Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN , Pustaka Kausat, Jakarta, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar