Label

Jumat, 14 Oktober 2011

PENDAPATAN NASIONAL



Ø  Latar Belakang Masalah

Sejarah ekonomi islam dimulai pada abad 14 M, munculnya pemikiran-pemikiran untuk kontinuinitas masalah ekonomi makro yang dibahas dalam syariat islam. Pembahhasan ini bertujuan untuk menuntaskan masalah ekonomi dengan sistem perekonomian modern dan menyuruti nilai-nilai khusus dari aset negara dan anggaran negara menurut obyektifitas syariat islam. Dan berupaa untuk menemukan bukti konkrit tentang evolosi ekonomi dimasyarakat Arab terdahulu, berlandaskan para penulis islam modern. Tokoh-tokoh islam telah mengetahui perbedaan-perbedaan yang relevan mengenai sistem ekonomi sosialis, sistem ekonomi kapitalis dengan sistem ekonomi islam. Inilah yang berperan dalam pengembangan ekonomi islam dan pendayagunaan masyarakat, sehingga tercapai-nya falah  di setiap segi kehidupan.
Untuk mencapai falah tersebut, dalam makalah ini kami menjelaskan bahwa islam keberatan terhadap pendapatan nasional versi sosialis maupun kapitalis, karena hanya sebagian orang yang merasakan kesejahteraan, sedangkan sebagian masyarakat tetap dalam kemiskinan.
Untuk itu, pendapatan nasional dalam perspektif islam merupakan sebuah jawaban untuk mencapai kesejahteraan ataupun falah di setiap segi kehidupan baik bermasyarakat, berbangsa ataupun bernegara. Untuk lebih jelasnya kami membahas pendapatan nasional dalam perspektif islam pada Bab II.






A.  PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP PENDAPATAN NASIONAL
Secara sederhana pendapatan nasional dapat diartikan sebagai jumlah barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara pada periode tertentu biasanya satu tahun. Istilah yang terkait dengan pendapatan nasional antara lain: produk domestik bruto (gross domestic product/GDP), produk nasional bruto (gross national product/GNP), serta produk nasional neto (net national product/NNP). [1]
Perhitungan pendapatan nasional akan memberikan perkiraan GDP secara teratur yang merupakan ukuran dasar dari performansi perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Selain itu perhitungan pendapatan nasional juga berguna untuk menerangkan kerangka kerja hubungan antara variabel makroekonoomi, yaitu: output, pendapatan, dan pengeluaran seperti terlihat pada gambar arus pendapatan dan pengeluaran berikut ini:[2]



Gambar di atas menjelaskan tentang adanya dua arus (flow), yaitu barang dan uang.
1.         Arus barang berupa penyerahan faktor produksi dari rumah tangga konsumen ke rumah tangga produsen (1) dan penyerahan barang-barang dan jasa dari rumah tangga produsen ke rumah tangga konsumen (4).
2.         Sedangkan arus (flow) uang terjadi penerimaan pendapatan yang
diperoleh rumah tangga konsumen dari rumah tangga produsen (2) dan pengeluaran
yang dilakukan rumah tangga konsumen pada rumah tangga produsen (3).
 Pendapatan nasional yang merupakan ukruran terhadap aliran uang dan barang dalam perekonomian dapat dihitung dengan tiga pendekatan, yaitu:[3]
1.     Pendekatan produksi (production approach).
2.     Pendekatan pendapatan (income approach).
3.     Pendekatan pengeluaran (expenditure approach). 

Dalam siklus aliran pendapatan suatu perekonomian dibagi menjadi empat bidang atau sektor utama sebagai pelaku ekonomi di mana setiap sektor memiliki hubungan interaksi masing-masing dalam menciptakan pendapatan dan pengeluaran.[4]
1. Sektor Rumah Tangga
Terdiri dari individu-individu yang bersifat homogen.
a. Hubungan dengan Perusahaan
- rumahtangga melakukan pembelian barang dan jasa yang dihasilkan    oleh perusahaan untuk konsumsi.
- rumah tangga mendapatkan pendapatan berupa gaji, upah, sewa,                   dividen, bunga, dll dari perusahaan.
b. Hubungan dengan Pemerintah
- rumah tangga menyetorkan sejumah uang sebagai pajak.
- rumah tangga menerima penerimaan berupa gaji, bunga, penghasilan                   non balas jasa, dll.
c. Hubungan dengan Dunia Internasional
- rumah tangga mengimpor barang dan jasa dari luar negeri untuk              memenuhi kebutuhan hidup.
2. Sektor Perusahaan
Gabungan unit kegiatan yang menghasilkan produk barang dan jasa.
a. Hubungan dengan RumahTangga
- perusahaan menghasilkan produk-produk barupa barang dan jasa yang             dikonsumsi oleh masyarakat.
- perusahaan memberikan penghasilah dan keuntungan kepada rumah              tangga barupa gaji, deviden, sewa, upah, bunga, dsb.
b. Hubungan dengan Pemerintah
- perusahaan membayar pajak kepada pemerintah.
- perusahaan menjual produk dan jasa kepada pemerintah.
c. Hubungan dengan Dunia Internasional
- perusahaan melakukan impor atas produk barang maupun jasa dari luar             negri.
3. Sektor Pemerintah
Bertindak sebagai pembuat dan pengatur kebijakan masyarakat dan bisnis.
a. Hubungan dengan RumahTangga
- pemerintah menerima setoran pajak rumah tangga untuk kebutuhan    operasional, pembangunan, dan lain-lain.
b. Hubungan dengan Perusahaan
          - pemerintah mendapatkan penerimaan pajak dari pengusaha.
- pemerintah membeli produk dari perusahaan berdasarkan dana anggaran    belanja yang ada.
4. Sektor Dunia Internasional / Luar Negeri
hubungan ekspor dan impor produk barang dan jasa dengan luar negeri.
         a. Hubungan dengan RumahTangga
- dunia internasional menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan              rumah tangga.
        b. Hubungan dengan Perusahaan
- dunia internasional mengekspor produknya kepada bisnis-bisnis

B. PERHITUNGAN PENDAPATAN NASIONAL DENGAN PENDEKATAN
     PRODUKSI ( Gross Domestic Product/GDP)
Produk Domestik Bruto adalah jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu Negara selama satu tahun. Dalam perhitungannya, termasuk juga hasil produksi dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan/orang asing yang beroperasi diwilayah yang bersangkutan.[5]
Jadi, perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan produksi diperoleh dengan menjumlahkn nilai tambah bruto (gross value added) dan semua sektor produksi. Penggunaan konsep nilai tambah dilakukan guna menghindari terjadinya perhitungan ganda (double-count). Sebagai contoh kita tidak akan memasukkan seluruh harga sebuah pakaian ke dalam perhitungan pendapatan nasional dan kemudian juga memasukkan kain, benang , ataupun kapas sebagai bagian dari perhitungan pendapatan nasional. Komponen-komponen pakaian, seperti kain, benang, ataupun kapas merupakan barang
antara (intermediary goods) yang tidak dimasukkan dalam perhitungan
dalam komponen perhitungan pendapatan nasional. Jadi, yang dimaksudkan dalam
perhitungan pendapatan nasional hanya barang jadi atau barang siap pakai (final goods).
Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan produksi di Indonesia dilakukan dengan menjumlahkan semua sektor industri yang ada, sektor industri tersebut dikelompokkan menjadi 11 sektor atas dasar ISIC (International Standard Industrial Classification) yang meliputi:[6]
1.     Sektor produksi pertanian.
2.     Sektor produksi pertambangan dan penggalian.
3.     Sektor manufaktur.
4.     Sektor produksi listrik, gas, dan air minum.
5.     Sektor produksi bangunan.
6.     Sektor produksi perdagangan, hotel, dan restoran.
7.     Sektor produksi transportasi dan komunikasi.
8.     Sektor produksi bank dan lembaga keuangan lainnya.
9.     Sektor produksi sewa rumah.
10.  Sektorproduksi pemerintahan dan pertahanan.
11. Sektor produksi jasa lainnya.

C. PERHITUNGAN PENDAPATAN NASIONAL DENGAN PENDEKATAN      PENGELUARAN ( Gross National Product/GNP)
GNB adalah seluruh nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat suatu Negara dalam periode tertentu, biasanya satu tahun, termasuk didalamnya barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat Negara tersebut yang berada di luar negeri.[7]
Jadi, perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran dilakukan dengan menjumlahkan permintaan akhir unit-unit ekonomi, yaitu:
1.    Rumah tangga berupa konsumsi (consumption/C).
2.     Perusahaan berupa investasi (investment/I).
3.     Pengeluaran pemerintah (government/G).
4.     Pengeluaran ekspor dan impor (export-import/X-M).
Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan ini biasa dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
·         Y = C + I (untuk perekonomian tertutup tanpa peranan pemerintah).
·         Y = C + I + G (untuk perekonomian tertutup dengan peranan pemerintah).
·         Y = C + I + G + X – M (untuk perekonomian terbuka).
Dengan dua pendekatan yang telah disampaikan muncul suatu pertanyaan apakah sama antara gross domestic product/GDP dengan gross national product/GNP) atau adakah perbedaan antara GDP dengan GNP? Kalau ada, apa perbedaannya?
Secara sederhana dapat dinyatakan GDP adalah nilai barang jadi yang diproduksi di dalam negeri. Sedangkan di dalam GNP ada bagian barang barang atau jasa yang diperoleh dari luar negeri. Misalnya, pendapatan dari seorang warga negara Indonesia yang bekerja di Amerika adalah bagian
dari GNP Indonesia tetapi
bukan bagian dari GDP Indonesia karena pendapatan itu tidak dihasilkan di Indonesia. Contoh lain, keuntungan perusahaan Astra International (Perusahaan Jepang) yang operasi pabriknya ada di Indonesia
adalah bagian dari GNP Jepang bukan GNP Indonesia.
Dari penjelasan perbedaan GDP dengan GNP di atas, maka ada 3 kondisi yang mungkin terjadi pada suatu Negara, sebagai berikut :[8]
1.        Nilai GDP lebih besar dari GNP (GDP > GNP)
2.        Hal ini berarti penghasilan pendukuk suatu negara yang bekerja di luar negeri akan lebih sedikit bila dibandingkan dengan penghasilan orang asing di negara itu.
3.        Nilai GDP lebih kecil dari GNP (GDP <  GNP)
4.        Hal ini berarti penghasilan penduduk suatu negara yang bekerja di luar negeri akan lebih besar bila dibandingkan dengan penghasilan orang asing di negara itu.
5.        Nilai GDP sama dengan GNP (GDP = GNP)
6.        Hal ini berarti penghasilan penduduk suatu negara yang bekerja di luar negeri akan sama besar bila dibandingkan dengan penghasilan orang asing di negara itu.

D. PENDAPATAN NASIONAL DENGAN PENDEKATAN PENDAPATAN      (Net National Product/NNP)
NNP adalah jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat dalam periode tertentu, setelah dikurangi penyusutan (depresiasi) dan barang pengganti modal.[9]
Berbeda dengan GNP, maka NNP merupakan GNP dikurangi penyusutan dari stok modal yang ada selama periode tertentu. Penyusutan merupakan ukuran dari bagian GNP yang harus disisihkan untuk menjaga, kapasitas produksi dari perekonomian. Biasanya data GNP lebih banyak digunakan dibandingkan dengan NNP karena persoalan estimasi penyusutan mungkin tidak teliti dan juga tidak tersedia dengan cepat sedangkan perkiraan GNP tersedian dalam bentuk sementara.

GDP RIIL (REAL GDP) DAN GDP NOMINAL (NOMINAL GDP)
GDP nominal mengukur nilai output atau pendapatan nasional dalam suatu periode tertentu menurut harga pasar yang berlaku pada periode tersebut atau dikenal dengan istilah current price. Misalnya, GDP nominal 2007 mengukur nilai barang-barang yang diproduksi selama tahun 2007 dengan harga pasar yang berlaku tahun 2007. Sedangkan yang dimaksud dengan GDP riil mengukur nilai output atau pendapatan nasional pada periode tertentu menurut harga yang ditentukan (harga pada tahun dasar atau dikenal dengan istilah harga konstan/constant price). Sebagai ilustrasi dapat dijelaskan dengan menggunakan data sebagai berikut: [10]
Tahun
Harga Beras
Kuantitas Beras
Harga Roti
Kuantitas Roti
2005
4.000
150
1.500
200
2006
5.000
300
2.000
250
2007
6.000
400
3.300
300

Berdasarkan data di atas (dimisalkan perekonomian hanya menghasilkan dua jenis barang), maka dapat dihitung GDP nominal dan GDP riil sebagai berikut:
GDP nominal tahun 2005 = (4.000 x 150) + (1.500 x 200) =    900.000
GDP nominal tahun 2006 = (5.000 x 300) + (2.000 x 250) = 2.000.000
GDP nominal tahun 2007 = (6.000 x 400) + (2.300 x 300) = 3.090.000
Sedangkan untuk perhitungan GDP riil diasumsikan tahun dasar 2005, maka diperoleh hasil sebagai berikut:
GDP rill tahun 2005 = (4.000 x 150) + (1.500 x 200) = 900.000
GDP riil tahun 2006 = (5.000 x 150) + (2.000 x 200) = 1.150.000
GDP riil tahun 2007 = (6.000 x 150) + (2.300 x 200) = 1.360.000
Dari hasil perhitungan terlihat bahwa nilai GDP nominal tahun 2006 dan 2007 jauh lebih besar diandingkan dengan nilai GDP rill tahun yang sama. Kenaikan GDP nominal jangan selalu dipandang sebagai kenaikan/prestasi perekonomian dalam mengahasilkan barang dan jasa. Karena bisa terjadi kenaikan GDP nominal disebabkan kenaikan harga yang cukup tinggi. Jadi, kita mengacu kepada GDP riil dan bukannya nominal untuk membandingkan output pada tahun yang berbeda.
Berdasar pada perhitungan GDP nominal dan GDP rill, maka kita dapat juga menghitung GDP deflator (mengukur tingkat inflasi) yang merupakan perbandingan antara GDP nominal dengan GDP rill.
Pendekatan ekonomi konvensional menyatakan GDP atau GNP riil dapat dijadikan sebagai suatu ukuran kesejahteraan ekonomi (measure of economic welfare) atau kesejahteraan pada suatu negara. Pada waktu GNP naik, maka diasumsikan bahwa rakyat secara materi bertambah baik posisinya dan demikian pula sebaliknya, tentunya setelah dibagi dengan jumlah penduduk (GNP per kapita). Kritik terhadap GNP sebagai ukuran kesehateraan ekonomi muncul. Para pengkritik mengatakan bahwa GNP per kapita merupakan ukuran kesejahteraan yang tidak sempurna. Sebagai contoh, jika nilai output turun sebagai akibat orang-orang mengurangi jam kerja atau mengambah waktu leisure/istirahatnya
tentunya hal itu bukan menggambarkan keadaan orang itu menjadi lebih buruk.
Secara sederhana formulasi konsep MEW:
MEW: C – public expenditures – durable goods consumption – loss of welfare due to pollution, urbanization and congestion + value or durables actually consumed during the year + value of non-market services +value of leisure.
Nordhaus dan Tobin dari Yale bersama-sama dalam tahun 1972 mengajukan konsep MEW (Measure of Economic Welfare), tetapi sayang konsep ini tidak berkembang dan sampai saat ini cenderung masih digunakan GDP riil per kapita sebagai ukuran kesejahteraan suatu Negara.
Berikut ini beberapa keberatan penggunaan GDP riil per kapita sebagai indikator kesejahteraan suatu Negara, sebagai berikut :[11]
1.         Umumnya hanya produk yang masuk pasar yang dihitung dalam GNP. Sedangkan produk yang dihasilkan dan dikonsumsi sendiri tidak tercakup dalam GNP. Padahal di desa-desa negara berkembang sering kita jumpai, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di luar beras, rakyat desa memanfaatkan sayuran dan palawija yang terdapat di lahan pekarangan. Jelas di sini apa yang di hasilkan di lahan pekarangan, mulai dari sayur bayam, singkong, kelapa, dan buah-buahan, dan kemudian mereka konsumsi sendiri sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan mereka. Namun itu semua tidak dihitung dari GNP, sehingga secara akumulatif akan menghasilkan distorsi yang tidak kecil.
2.         GNP juga tidak menghitung nilai waktu istirahat (leisure time), padahal ini sangat besar pengaruhnya dalam kesejahteraan. Semakin kaya seseorang akan semakin menginginkan waktu istirahat. Bahkan beberapa negara mulai memikirkan waktu kerja yang lebih pendek. Ini berarti akan terdapat perbedaan (gap) yang semakin besar antara besarnya GNP dengan kesejahteraan.
3.         Kejadian buruk seperti bencana alam tidak dihitung dalam GNP, padahal kejadian tersebut jelas mengurangi kesejahteraan. Bencana tsunami di Aceh yang terjadi pada Desember 2004, jelas mengurangi kesejateraan rakkyat Aceh. Namun ketika pemerintah membangun kembali infrastruktur yang hancur akibat tsunami tersebut, pendanaan untuk kegiatan itu justru masuk ke dalam GNP melalui belanja pemerintah (G), sedangkan pihak swasta yang ikut memberikan bantuan juga di hitung dalam GNP sebagai investasi (I). Akibatnya GNP akan naik dengan kegiatan rekonstruksi pascabencana tsunami, padahal di sana juga ada pengurangan kesejahteraan yang tidak terhitung.  
4.         Masalah polusi juga sering tidak dihitung dalam GNP. Banyak sekali pabrik-pabrik yang dalam kegiatan produksinya menghasilkan polusi air maupun udara. Ini jelas akan merusak lingkungan. Banyak warga di sekitar pabrik akan sakit, sehingga iru berarti berkurang kesejahhteraannya. Mereka terpaksa dikeluarkan biaya untuk berobat dan tidak bisa bekerja untuk melakukan kegiatan yang produktif. Polusi yang menimbulkan biaya sosial ini jelas akan mengurangi kesejateraan, tetapi tidak diperhitungkan dalam GNP.

E. PENDAPATAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Satu hal yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah panggunaan parameter falah. Falah adalah kesejahteraan yang hakiki, kesejahteraan yang sebenar-benarnya, di mana komponen-komponen rohaniah masuk ke dalam pengertian falah ini. Ekonomi Islam dalam arti sebuah sistem ekonomi (nidzom al-iqtishad) merupakan sebuah sistem yang dapat mengantar umat manusia kepada real welfare (falah), kesejahteraan yang sebenarnya.
Memang benar bahwa semua sistem ekonomi baik yang sudah tidak eksis lagi atau telah terkubur oleh sejarah maupun yang saat ini sedang berada di puncak kejayaannya, bertujuan untuk menghantarkan kesejahteraan kepada para penganutnya. Namun lebih sering kesejahteraan itu diwujudkan pada pengingkatan GNP yang tinggi, yang kalau dibagi dengan jumlah penduduk akan menghasilkan per capita income yang tinggi. Jika hanya itu ukurannya, maka kapitalis modern akan mendapat angka maksimal.
Pendapatan per kapita yang tinggi bukan satu-satunya komponen pokok yang menyusun kesejahteraan. Ia hanya merupakan necessary condition dalam isu kesejahteraan dan bukan sufficient condition. Al-Falah dalam pengertian Islam mengacu kepada konsep Islam tentang manusia itu sendiri. Dalam Islam, esensi manusia ada pada ruhaniahnya. Karena itu seluruh kegiatan duniawi termasuk ekonomi diarahkan tidak saja untuk memenuhi tuntutan fisik jasadiyah melainkan juga memenuhi kebutuhan ruhani di mana ia merupakan esensi manusia.
Maka dari itu selain harus memasukkan unsur falah dalam menganalisis kesejahteraan, penghitungan pendapatan nasional berdasarkan Islam juga harus mampu mengenali bagaimana interaksi instrumen-instrumen wakaf, zakat, dan sedekah dalam meningkatkan kesejahteraan umat.
Pada intinya, ekonomi Islam harus mampu menyediakan suatu cara untuk mengukur kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial berdasarkan sistem moral dan sosial Islam.
Setidaknya ada empat hal yang semestinya bisa diukur dengan pendekatan pendapatan nasional berdasarkan ekonomi Islam, sehingga tingkat kesejahtraan bisa dilihat secara lebih jernih dan tidak bias. Empat hal tersebut adalah:[12]

 1. Pendapatan Nasional harus dapat mengukur penyebaran pendapatan      individu rumah tangga.
 Kendati GNP dikatakan dapat mengukur kinerja kegiatan ekonomi yang terjadi di pasar, GNP tidak dapat menjelaskan komposisi dan distribusi nyata dari output per kapita. Semestinya, penghitungan pendapatan nasional islami harus dapat mengenali penyebaran alamiah dari output per kapita tersebut, karena dari sinilah nilai-nilai sosial dan ekonomi Islami bisa musuk. Jika penyebaran pendapatan individu secara nasional bisa dideteksi secara akurat, maka akan dengan mudah dikenali seberapa besar rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
 Barangkali inilah yang menjelaskan, ketika pemerintahan SBY memberikan Bantuan Tunai Langsung (BLT) kepada rakyat miskin, terjadi banyak ketidakpuasan, karena daftar yang nyata dari rakyat yang dikatagorikan miskin sesungguhnya sangat tidak akurat. Penghitungan dari BPS didasarkan pada survei yang kurang mencermikan kenyataan sesungguhnya, sementara angka GNP memang tidak dapat digunakan untuk mendeteksi jumlah penduduk miskin.
 Demikian pula GNP tidak mampu mendeteksi kegiatan produksi yang tidak ditransaksikan di pasar. Itu artinya kegiatan produktif keluarga yang langsung dikonsumsi dan tidak memasuki di pasar tidak tercatat di dalam GNP. Padahal kenyataan ini sangat mempengaruhi kesejahtraan individu. Sesengguhnya angka ini bisa diperoleh melalui satu survei nasional yang menyeluruh. Pendapatan per kapita  yang diperoleh melalui survei demikian, bisa diduga, akan menghasilkan angka yang lebih besar ketimbang GNP per kapita.
 Persoalan lainnya adalah, di dalam penghitungan GNP konvensional, produksi barang-barang mewah memiliki bobot yang sama dengan produksi barang-barang kebutuhan pokok. Maksudnya, produksi beras yang menghasilkan uang Rp 10 juta, sama nilainya dengan produksi perhiasan emas yang juga menghsilkan Rp 10 juta. Maka untuk lebih mendekatkan pada ukuran kesejahteraan, ekonomi Islam menyarankan agar produksi kebutuhan pokok memiliki bobot yang lebih berat ketimbang produksi barang-barang mewah.

 2. Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Produksi Di Sektor      Pedesaaan.
 Sangatlah disadari bahwa tidak mudah mengukur secara akurat produksi komoditas subsisten, namun bagaimanapun juga perlu satu kesepakatan untuk memasukkan angka produksi komoditas yang dikelola secara subsistem tersebut ke dalam penghitungan pendaptan nasional. Komoditas subsisten ini, khususnya pangan, sangatlah penting di negara-negara muslim yang baru dalam beberapa dekade ini masuk dalam percaturan perekonomian dunia.
 Satu contoh betapa tidak sempurnanya perkiraan produksi komoditas subsisten ini adalah, kita tidak pernah benar-benar dapat mengetahui berapa sesungguhnya pendapatan masyarakat desa dari sektor subsisten ini. Oleh karena itu sangat dibutuhkan pembuat kebijakan untuk mengambil keputusan, khususnya berkaitan dengan tingkat kesejahteraan rakyat lapisan bawah yang secara masa memiliki jumlah terbesar.
 Untuk mengetahui tingkat produksi komoditas subsisten ini, harus diketahui terlebih dahulu tingkat harga yang digunakan. Pada umumnya ada dua jenis harga pasar, yakni harga yang secara nyata diterima petani atau diharapkan akan diterima oleh petani, dan satu set harga lainnya adalah nilai yang dibayar oleh konsumen di pasar eceran. Peningkatan produksi pertanian di tingkat rakyat pedesaan, umumnya justru mencerminkan penurunan harga produk-produk pangan di tangat konsumen suburban, atau sekaligus mencerminkan peningkatan pendapatan para pedagang perantara, yang posisinya berada di antara petani dan konsumen. Ketidakmampuan mendeteksi secara akurat pendapatan dari sektor subsisten ini jelas satu kelemahan yang harus segera diatasi, karena di sektor inilah bergantung nafkah dalam jumlah besar, dan di sinilah inti masalah dari distribusi pendatapan.

 3. Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Kesejahteraan Ekonomi       Islami
 Kita sudah melihat bahwa angka rata-rata pendapatan per kapita tidak menyediakan kepada kita informasi yang cukup untuk mengukur kesejahtraan yang sesugguhnya. Adalah sangat penting untuk mengekspresikan kebutuhan efektif atau kebutuhan dasar akan barang dan jasa, sebagai persentase total konsumsi. Hal itu perlu dilakukan karena kemampuan untuk menyediakan kebutuhan dasar seperti pangan, perumahan, pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, rekreasi dan pelayanan publik lainnya, sesungguhnya bisa menjadi ukuran bagaimana tingkat kesejahtraan dari suatu negara atau bangsa.
 Sungguh menarik untuk mengkaji apa yang dilakukan Nordhaus dan Tobin dengan Measures for Economics Welfare (MEW), dalam konteks ekonomi barat. Kalau GNP mengukur hasil, maka MEW merupakan ukuran dari konsumsi rumah tangga yang memberi kontribusi kepada kesejahtraan manusia. Perkiraan MEW didasarkan kepada asumsi bahwa kesejahtraan rumah tangga yang merupakan ujung akhir dari seluruh kegiatan ekonomi sesungguhnya sangat bergantung pada tingkat konsumsinya.
Beranjak dari definisi konsumsi yang ada selama ini, kedua proffesor itu lalu membagi jenis konsumsi ke dalam tiga katagori:[13]
a.         Belanja untuk keperluan publik, seperti membuat jalan, jembatan, jasa polisi dll.
b.        Belanja rumah tangga, seperti membeli TV, mobil, dan barang-barang yang habis dipakai.
c.         Memperkirakan berkurangnya kesejahtraan sebagai akibat urbanisasi, polusi, dan kemacetan.
Disamping tiga kategori di atas, kedua profesor itu juga mambuat tiga tambahan pendekatan lagi, yakni:[14]
a.       Memperkirakan nilai jasa dari barang-barang tahan lama yang dikonsumsi selama setahun.
b.      Memperkirakan nilai dari perkerjaan-pekerjaan yang dilakukan sendiri, yang tidak melalui transaksi pasar.
c.       Memperkirakan nilai dari rekreasi.
Meski MEW ini diukur dalam konteks barat, konsep ini sebenarnya menyediakan petunjuk-petunjuk yang berharga untuk memperkirakan level kebutuhan hidup minimum secara islami.

 4. Penghitungan Pendapatan Nasional Sebagai Ukuran Dari Kesejahteraan      Sosial Islami Melalui Pendugaan Nilai Santunan Antar Saudara dan      Sedekah.
Kita tahu bahwa GNP adalah ukuran moneter dan tidak memasukkan transfers payments seperti sedekah. Namun haruslah disadari, sedekah memiliki peran yang signifikan di dalam masyarakat islam. Dan ini bukan sekedar pemberian suka rela kepada orang lain namun merupakan bagian dari kepatuhan dalam menjalankan kehidupan beragama. Di dalam masyarakat Islam, terdapat satu kewajiban menyantuni kerabat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Meski tidak gampang memperoleh datanya, upaya mengukur nilai dari pergerakan semacam ini dapat menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk mendalami bekerjanya system keamanan sosial yang mengakar di masyarakat islam.
 Di sejumlah negara muslim, jumlah dan kisaran dari kegiatan dan transaksi yang didasarkan pada keinginan untuk melakukan amal kebajikan, memiliki peran lebih penting dibanding negara barat. Tidak hanya karena luasnya kisaran dari kegiatan ekonomi yang diambil alih oleh keluarga maupaun suku, tetapi juga ada begitu banyak ragam kewajiban santunan di antara anggota keluarga. Tidak semuanya melibatkan jumlah uang yang besar, karena yang terjadi kadang-kadang hanya merupakan hibah berupa barang atau jasa yang kecil nilainya. Ada satu kesenjangan keterikatan antara jasa dan pembayaran, misalnya donasi untuk pemeliharaan masjid, menggaji imam masjid, kegiatan pedesaan, dll.
 Adalah penting untuk menentukan sifat alami dan tingkatan dari amal shadaqah antar saudara. Melalai peningkatan pencatatan dan sektor tambahan dari aktivitas ini dapat dikaji untuk pengambilan keputusan.
 Dibanding amal sedekah yang sering dikeluarkan umat Islam kepada mereka yang kurang beruntung, sesungguhnya lebih mudah mengestimasi zakat, satu kewajiban pembayaran transfer yang paling penting di negara muslim. Kini sedang diupayakan mengukur pendapatan dari zakat sebagai persentase dari GNP. Pengukuran ini akan sangat bermanfaat sebagai variabel kebijakan di dalam pengambilan keputusan di bidang sosial dan ekonomi, sebagai bagian dari rancangan untuk mengentaskan kemiskinan. Pendayagunaan peran zakat untuk mengatasi masalah kemiskinan di negara-negara muslim kini tengah menjadi agenda negara-negara tersebut.









[1] Nurul Huda dkk. Ekonomi Makro Islam : Pendekatan Teotitis. (Jakarta : Kencana Prenada Media    group,2007). hal.21.
[2] Ibid. hal.21.
[3] Ibid. hal.22.
[4]http://kanal3.wordpress.com//2010/05/20/pengantar-ekonomi-makromacam-macam-   pendapatan-nasional/
[6] http//www.google.co.id. Official Weblog Zanikhan - PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP      PENDAPATAN NASIONAL. 30 September 2010.
[7]  http//www.wakalanusantara.com. Pengertian Pendapatan Nasional. 30 September 2010.
[8] Nurul Huda dkk. Ekonomi Makro Islam : Pendekatan Teotitis. hal.24-25.
[10] Nurul Huda dkk. Ekonomi Makro Islam : Pendekatan Teotitis. hal.26.
[11] Mustafa Edwin Nasution, M.Sc., MAEP, Ph.D. Pengenalan Eksklusif : Ekonomi Islam ( Jakarta :      kencana Ed.1. Cet,2. 2006 ). hal.194-195.
[12] Ibid. hal.197.
[13] Nurul Huda dkk. Ekonomi Makro Islam : Pendekatan Teotitis. hal. 31.
[14] Nurul Huda dkk. Ekonomi Makro Islam : Pendekatan Teotitis. hal. 32.

1 komentar: